Suku Baduy Banten Dan Prinsip Hidup Yang Melekat

November 19, 2014

Baduy dan alam dalam kedamaian
Terik matahari mengonggong dengan dahsyatnya tanpa sedikitpun mau berbaik hati. Kebulan debu jalanan pertambangan pasir kiri-kanan, beterbangan menerpa wajah dan tak ayal akan menyelusup memasuki rongga jika tidak ditangkas dengan sebuah kain (masker). Sesekali peluh keringat yang menetes mengalir dipelupuk mata aku seka sembari lantang terus menatap kedepan.

“ Ini ni, yang bikin jalan rusak.” Suara Pak Buyur melebihi batas volume biasanya. Dia masih dengan sigap berada dibalik kemudi elf dan aku masih dengan seksama memperhatikan kelihaian beliau memboyong 14 orang anak manusia ini.

Yang tersisa hanyalah suara mesin mobil merengek yang berusaha melalui jalanan off road tersebut. Dua belas penumpang dibelakang aku rasa sudah mulai terbuai dan terlena akan dunia mimpi. Sedangkan aku masih belum bisa memejamkan mata sedikitpun diawal perjalanan ini. Jalanan yang dahulunya tidak seperti ini akhirnya mengalami masa pahit setelah sering dilalui oleh truck-truck besar pertambangan. Itu semua berubah tak kala sebuah perusahaan yang dikelola oleh orang asing menjamah negeri ini demi mengeruk kekayaannya. Pertambangan pasir yang sebahagian menjadi mata pencaharian masyarakat sekitar sebagai penambang dengan bos besar seorang warga dengan berkebangsaan “luar”. Na’as memang, penduduk asli yang hanya menjadi bawahan di negri sendiri. Tapi itu tidak di Rangkas ini saja, tetapi masih banyak sudut-sudut negri ini yang masih tetap “dijajah” oleh bangsa asing sedangkan kita hanya bisa terus “menengadah tangan” tanpa pernah dapat menikmati hasil bumi pertiwi ini sepenuhnya.

Cerita singkat diatas menjadi asupan ilmuku disiang ini menjelang desa Ciboleger. Sebuah desa yang akan menyambut tapakan kaki ku bersama dengan teman-teman menuju sebuah suku disalah satu pedalaman Banten. Elf dengan slogan Densus 88 ini terus memacu kecepatan melewati berbagai rintangan selama perjalanan demi target waktu 1.5 jam Rangkas-Ciboleger. Jalanan rusak, tanjakan, tikungan, turunan dibawakan dengan elok oleh sang tuan kemudi, maklum saja rute ini adalah makanan sehari-hari beliau membawa penumpang menuju Ciboleger. Hanya saja di akhir pekan seperti sabtu ini 1 November 2014, beliau sering kebagian rejeki untuk mengantarkan para pecinta budaya yang ingin mengenal lebih dekat sebuah suku etnis sunda, di Kabupatan Lebak – Banten, yaitu suku Baduy. 
Elf tangguh Rangkas-Ciboleger
Bermukim tepat diarea perbukitan, terutama di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes dengan topografi akses turun-naik bukit tidak membuat suku Baduy meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mempertahankan adat-istiadat leluhur dan tetap menjaga aturan yang berlaku turun-temurun, membuat warga suku Baduy mendapat berbagai decak kagum dari setiap insan, termasuk saya yang sudah sangat lama berkeinginan lebih dekat mengenal peradaban mereka. Suku yang terpecah menjadi dua bagian ini (Baduy Dalam dan Baduy Luar) masing-masing memiliki tata kehidupan tersendiri dan hidup berdampingan satu-sama lain.

Baduy Luar dengan kesehariannya
Aku memulai ekpedisi Baduy ini dari domisili asal BSD-Tangerang Selatan pada pukul 05.30, tentunya terlebih dahulu menuju St. Serpong untuk kemudian melanjutkan dengan Commuter Line (CL) ke meeting point di St. Tanah Abang. Kereta Rangkas Jaya dengan harga tiket Rp 26.000,- PP siap mengantarkanku dengan 12 orang teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah disekitar Ibu Kota (Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bandung) ditambah 3 orang yang berasal dari tanah Sumatra (Palembang dan Lampung). Kami semua kebanyakan baru saling bertatap muka satu-sama lain di St. Tanah Abang, maklumlah perjalanan ini adalah buah karya sharing cost dengan berbagai teman-teman sesama pecinta alam semesta.

05.30  Start dari BSD (kediaman)
06.00  St. Serpong menuju St. Tanah Abang
07.00  St. Tanah Abang
08.05  St. Tanah Abang – St. Rangkas Jaya
09.45  St. Rangkas Jaya
10.00  Rangkas – Ciboleger by elf dengan ongkos 25.000 one way
11.30  Seorang bapak mengenakan topi kesawah dengan cangkul ditangan kanan, golok terselip dipinggang sebelah kiri, seorang ibu dan 2 orang anak kecil mempersilakan kedatangan kami di Ciboleger. Empat patung yang berdiri tegap di terminal sekaligus pasar Ciboleger itu menyambut kedatangan setiap elf yang merapat dipemberhentian terakhir mereka. Inilah Ciboleger, garis awal menuju treking ke Baduy Dalam. 

Empat patung berdiri tegap menyambut kedatangan
Dari jadwal yang sudah direncanakan, aku dan teman-teman mempunyai waktu 1 jam 30 menit untuk menambah stamina perut (makan siang), sholat serta membeli logistic yang akan dibawa ke Baduy Dalam serta pos terakhir yang terdapat sebuah minimarket ber-plat merah untuk melengkapi perbekalan sebelum treking sesungguhnya dimulai.

Untuk urusan perut, kami memilih sebuah warung makan sederhana disebelah minimarket yang menyediakan berbagai pelengkap perut, mulai dari soto sampai hidangan telur ceplok. Setelahnya uang 20.000 rupiah keluar dari kocek masing-masing untuk patungan membeli berbagai keperluan dapur selama kami menginap di Baduy Dalam. Pilihan menu makan tentunya jatuh kepada ikan asin, sambel, mie instans dan lain sebagainya untuk persiapan makan malam dan sarapan besok pagi di Baduy Dalam.
-----
SELAMAT DATANG DI BADUY

Tulisan kapital itu menyambut gagah di pinggir sebuah mushola. Eitss,, yang dimaksud Baduy disini adalah Baduy Luar sedangkan tujuan utama massiiiiiiih jauh perjalanan ke dalam.
Baduy Luar memiliki sisi yang sudah sedikit berbeda dari Dalam . Perbedaaan itu terletak dari pola hidup yang mereka gunakan sudah tersentuh oleh kehidupan modern seperti memakai gadget, berpakaian seperti kebanyakan orang dan segi bangunan rumah yang sudah memakai unsur modern seperti pahat, gergaji, paku dll. Tetapi dibalik itu semua masih ada aturan-aturan yang terus mendarah daging mereka pegang, seperti tidak mengenal yang namanya dunia pendidikan dan model rumah panggung yang menjadi ciri khas bagi warga suku Baduy.
-----
Hitungan menit lagi menuju pukul 1 siang. Breafing sebelum perjalanan naik-turun bukit kami lakukan di rumah Akang Lambry, design rumah Baduy Luar tampak kental dikediaman salah seorang putra Baduy Luar ini. Awalnya Akang Lambry sendiri yang akan mengatarkan aku dan teman-teman sampai Baduy Dalam, tetapi ternyata rencana berubah. Dia digantikan oleh adiknya Ako, yang menurut juri teman-teman cewek, lebih ganteng dan mirip artis korea ... heee hee (tentunya aku setuju dg perbandingan itu)   :D :D

13.00 Bismillah ...

Baduy Dalam .... aku datang ....

Perjalanan awal kami dikawal oleh Ako, Bapak Nanik (warga Baduy Dalam) dan beberapa pengiring orang Baduy Dalam yang akan kembali kerumah mereka setelah sebelumnya dari Ciboleger untuk memperdagangkan hasil kebun/ladang mereka seperti pisang, jagung dll.  Yap ,, mata pencaharian sebahagian penduduk Baduy Dalam adalah berladang. Karena masing-masing dari kepala keluarga pasti memiliki sebidang ladang untuk berkebun dan sebuah lumbung untuk menyimpan hasil kekayaan tanah makmur mereka. Kemudian untuk menyambung hidup, hasil ladang tersebut akan mereka jual ke Ciboleger bahkan ke kota-kota lainnya demi menambah pemasukan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Mamang Nanik sendiri pernah melakukan perjalanan selama 6 hari tanpa mengenakan alas kaki dan tidak menggunakan kendaraan umum untuk menuju Ciwedey-Bandung demi menawarkan madu-madu hutan alami dan asli dari Baduy Dalam.

Bersama di depan rumah Akang Lambry
Rute yang aku lalui bersama kawan-kawan siang ini adalah sebuah rute yang nantinya akan disuguhi keindahan sebuah danau. Awal langkah semangat 45 masih menggebu-gebu disetiap jiwa, tapi setelah itu perlahan-lahan berkurang menjadi 35, 25, 15  melihat begitu banyaknya tanjakan di depan yang sudah menanti. Naik-turun bukit, setelah bukit 1 akan ada bukit 2 dan dibaliknya akan ada bukit-bukit berikutnya sampai tak terhitung sudah berapa banyak bukit-bukit yang kami naik dan turuni. Sampai tibalah di sebuah danau nan hijau.
“Ahaaa .... kita sudah sampai Ranu Kumbolo” celetuk salah seorang teman.
Haaa haa ... danau ini lumayan menjadi pengobat peluh kami semua disiang ini. Tapi tidak berlama-lama, perjalanan segera dilanjutkan karena perjalanan masih panjang bahkan setengah perjalananpun belum. 

Sebuah danau pengobat peluh disiang ini
Aku memutuskan untuk mengambil garis start awal dibelakang Mamang Nanik. Sepanjang perjalanan sebelum tenagaku benar-benar menyerah aku melakukan tanya jawab langsung dengan beliau. Ingin mengetahui penuturan beliau tentang pahamnya dan ingin mengenal lebih jauh hal-hal yang ingin aku ketahui tentang Baduy terutama Baduy Dalam.
Baduy Dalam terbagi menjadi 3 desa yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masing-masing desa tersebut memiliki ±500-600 orang penduduk dengan ±100 kepala keluarga serta memiliki seorang Puun (kepala adat) yang sangat dihormati dan disegani. Kental akan aturan adat, Baduy Dalam sangat menolak pengaruh dari “dunia luar”, no gadget, no camera dan no kimia serta no bule. Pakaian merekapun identik dengan warna hitam-putih, yang membedakan mereka dengan penduduk Baduy luar adalah topi/ikat kepala yang mereka pakai, telekung untuk Baduy Dalam dan lomar untuk Baduy Luar.

Tanjakan yang tiada henti
Mamang Nanik masih setia menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan kepada beliau, tapi ....... aku yang sudah hampir kalah. Jangankan untuk mengelurkan kata-kata, mengatur nafaspun aku sudah mulai sedikit ngos-ngosan ditambah lagi terik matahari tak jua kunjung pergi. Beberapa diantara kami sudah terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Tenaga-tenaga yang masih tersisa terkadang aku atur sedemikian rupa sembari sesekali beristirahat dibeberapa desa Baduy Luar yang kami temui sepanjang perjalanan.
“ Ini perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam, jadi semua camera, HP tolong dimatikan ya!“ perintah Mang Nanik kepala kami setelah beristrirahat beberapa menit sembari menunggu teman-teman yang lain.
“ Masih jauh Kang? “ tanya salah seorang teman.
“ Beberapa kilo lagi. “  Jawaban singkat yang penuh makna menurutku. Tapi setidaknya jawaban itu bukan PHP seperti jawaban para teman-teman pendaki (menurutku), yang ketika ditanya , puncak masih jauh? atau basecamp masih jauh? Mereka pasti akan menjawab “sebentar lagi kakak, puncak sudah di depan”  huuuuff,, sebentar yang menjadi berkepanjangan. *peace
Aku masih sering melap keringat yang mengalir dikening dan bajuku pun sudah basah kuyup bermandikan peluh. Kami satu sama lain saling menyemangati dan mengejar target 3 jam sampai Baduy Dalam demi mengharap dapat berlama-lama menikmati Baduy Dalam jika datang lebih awal. 

Benar-benar tidak hitung lagi, mendaki gunung lewat dilembah ,bukit menjulang indah didepan mata. 

Sepanjang perjalanan Baduy Dalam kembali suguhan pemandangan indah dapat dinikmati oleh mata. Hamparan perkebunan yang hanya bisa diabadikan oleh mata telanjang. Setidaknya perjalanan panjang ini terbayar dengan panorama alam ciptaan Tuhan menjelang Baduy Dalam.

Bersama salah seorang putra Baduy Dalam
16.00 Finally … Tiga jam target terpenuhi. Aku dan teman-teman berhasil memasuki kawasan Baduy Dalam.
Langkah kaki kami disambut oleh anak-anak Baduy Dalam yang sedang memainkan alat musik Angklung dengan merdunya. Alunan suara Angklung nan membius teliga dimainkan dengan iringan nada yang pas. Beruntung, kami memasuki Baduy Dalam yang sedang merayakan hari untuk bertanam. Begitulah pesta di Baduy Dalam. Setiap masa/peristiwa seperti bertanam, panen, perkawinan bahkan kematian selalu ada saja iringan/perhelatan yang mereka adakan.
Aku menatap sekeliling. Sejauh mata memandang, tatapanku tertumpu pada tingginya pepohonan hijau yang mengelilingi kampung Cibeo ini. Rumah-rumah panggung bambu beratapkan daun kiray (sagu) menjadi tambahan penikmat mata. Oh Tuhan ,,, ketenangan baru saja menyelinap dihatiku.
-----
Istri Bapak Nanik menyambut kami semua dirumahnya, mempersilakan masuk dan segera ambil alih untuk menyiapkan menu untuk makan malam. Selepas mengistirahatkan badan sejenak, aku dan teman-teman segera meluncur ke sungai untuk membasuh badan dan tentunya juga ingin merasakan aliran sungai jernih tanpa mengandung bahan-bahan berbau sabun lainnya. Beruntung aku mempersiapkan kain sarung dari rumah. Tanpa berlama-lama aku sudah meracuni teman-teman yang lain untuk segera menceburkan badan ke sungai pemandian umum.
Seperti sungai biasanya, lokasi ini terbuka umum tanpa ada pembatas sama sekali. But don’t worry lelaki-wanita beda sepemandian J .
-----
Mentari sudah berhasil dilalap oleh sang malam. Kegelapan sudah masuk menutupi Baduy Dalam. Remang-remang cahaya penerang tradisional khas baduy, ditambah cahaya lilin menjadi penghangat malam pertama kami dalam lingkaran keluarga Bapak Nanik. Sesekali menjadi bertambah terang dibantu headlamp/senter yang kami bawa. Dan tiba saatnya …. Makan malam ….
Hidangan special nasi merah, ikan asin, sambel, mie rebus + kerupuk Kemplang menjadi kunyahan dahsyat bagi kami semua. Maklum saja, naik-turun bukit tadi pasti sudah banyak menguras tenaga dan isi perut kami semua. Aku yakin, makan siang yang kami makan di Ciboleger tadi siang sudah menjadi kering-kerontang didalam perut dan yang tersisa rasa lapar yang menggerogoti jiwa.

Makan malam kami diselingi sembari canda-tawa bersama Bapak Nanik dan keluarga. Rumah sederhana dengan dua dapur dan satu ruang utama ini menjadi bertambah hangat akan tukar pikiran dan tanya-jawab kembali bersama keluarga Bapak Nanik.

Dua bocah Baduy Dalam menemani perjalanan kami
Bapak Nanik berdiam dirumah ini bersama istri dan tiga orang anaknya. Anak pertama beliau sudah bekeluarga, maka dari itu dirumah ini terdapat dua dapur.
Bagi orang Baduy Dalam, jika ada anggota keluarga yang sudah bekeluarga tetapi mereka belum memiliki rumah sendiri, maka wajib hukumnya memiliki dapur sendiri dirumah yang sama. Itu menandakan satu rumah, 2 keluarga, 2 dapur dan 2 lumbung. 

Cengkrama kami semua malam ini masih terus berlanjut. Narasumber Bapak Nanik dan Ako dengan sukarela menjawab setiap pertanyaan yang meluncur dari para reporter kawakan ini. Istri dan anak Bapak Nanik tidak ikut andil , karena menurutku mereka belum terlalu fasih berbahasa Indonesia. Dialek Sunda-Bantennya masih kental dibandingkan penduduk Baduy Luar yang sudah lancar menggunakan Bahasa Indonesia. 

Satu pertanyaan jitupun keluar dari mulutku.

“Bagaimana kalau ada orang Baduy Dalam yang memutuskan untuk keluar dari lingkup norma adat Baduy Dalam? Misalnya memutuskan untuk menjadi orang Baduy Luar ataupun mengikuti dunia modern diluar sana? “ Inilah hal yang menjadi tanda tanya besar dibenakku. Mengingat orang Baduy Dalam juga sering mengadakan perjalanan ke kota-kota besar dan tentunya melihat “gemerlap dunia luar”.

“ Itu tidak masalah. Semuanya nanti tinggal dilaporkan pada Puun.Jawab bapak Nanik.
Larangan atau peraturan yang dilanggar tentunya akan ada konsekuensi yang akan diterima. Hukum ini berlaku dimanapun tak terkecuali di Baduy Dalam yang memegang prinsip kehidupan turun-temuran dari nenek-moyang mereka. Resiko yang akan dihadapi untuk keputusan diatas adalah “mereka akan diusir dan sudah tidak dianggap lagi sebagai warga Baduy Dalam.” Begitulah adat mengatur semua pelanggaran yang telah berlaku. Namun bagi keluarga, mereka masih diakui walaupun disekitar sudah tidak mengakui.
-----
Denting jam tangan menunjukkan pukul 20.00 . Sayup perlahan tiada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus keluar dari mulut. Sesekali gurauan sesama kami pun merambat, diselingi dengan gombalan dan modus-modus yang mengalir mengecengi kawan-kawan yang lain. Perlahan suara yang tadinya riuh, beranjak mulai sepi. Kepala yang masih tegak tinggal hitungan jari dan sisanya sudah berlabuh terlebih dahulu dibawah selimut malam masing-masing. Pun termasuk aku. Aku memilih untuk mengolah mimpi lebih awal.
Selamat tidur Baduy ......
-----
Minggu, 2 Desember 2014 // 04.30
Baduy Dalam tidak sedingin yang aku pikir. Pagi inipun menguak diri-diri kami dengan sentuhan lembut. Aku memboyong teman-teman yang lain untuk segera beranjak menuju sungai, mencuci muka dan mengambil air wudhu. Dibawah cahaya-cahaya senter, kami merambah gelap pagi Baduy Dalam. Sesekali juga berpapasan dengan tamu-tamu lain yang sedang berkunjung.
Pagi ini kami akan segera kembali ke Ciboleger menempuh jalur Gajeboh. Kepulangan akan kami mulai pukul 7 pagi setelah terlebih dahulu sarapan terakhir dengan keluarga besar bapak Nanik.
-----
Setelah sarapan, packing ransel dan menit yang tersisa aku sempatkan terlebih dahulu memutari Kampung Cibeo. Bertegur sapa dengan warga lain, pun menebar senyum semangat dipagi ini. Apik memang, kesetaraan sangat terasa disini. Model rumah yang sama, kekayaan alam yang melimpah menjadikan pelajaran berharga bagiku tanpa mengenal kata perselisihan/saling bangga-membanggakan.
Tongkat Baduy yang dibeli di Luar dengan harga 2.500 rupiah sudah siap kembali mengantarkan kami semua menuju Ciboleger. Pamitan dan pelukan hangatpun kami tinggalkan untuk ibu Nanik dan keluarga. Semoga kesan baik dapat kami torehkan dirumah ini.

Perkampungan Baduy luar yang dilewati
Jalur Gajeboh adalah jalur yang cukup panjang dengan tantangan yang tidak kalah sadis dari keberangkatan kemaren. Berangkat lebih pagi untuk mengantisipasi ketepatan waktu sampai kembali di St. Rangkasbitung demi kereta Rangkas Jaya jam 14.35.
Keluar dari Desa Cibeo, kami mampir sekilas terlebih dahulu ke Cikertawana. Sekadar melihat kehidupan sekitar. Namun sayang, kampung ini sudah sepi penduduk. Info dari bapak Nanik, warga Baduy Dalam Cikertawana sudah beranjak ke ladang dan mereka jarang menerima tamu seperti Cibeo dikarenakan warga Cikertawana belum terlalu fasih berbahasa Indonesia.
Cikertawana yang tenang seolah menyimpan berbagai gejolak jiwa dalam hati saya.
-----
Stamina aku dan teman-teman pagi ini masih membara. Apalagi setelah ditambah dengan istirahat di ladang Pak Nanik sembari menikmati kelapa muda yang langsung dipetik oleh si empunyanya. Sejenak tenggorokan kembali termanjakan dengan kelapa muda yang menggugah selera.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Perbukitan sudah siap menunggu kami didepan. Yang sangat aku ingat, ada  satu bonus spektakuler yang ditawarkan sebelum jembatan perbatasan Dalam dan Luar. Yaitu sebuah turunan dengan kemiringan sekitar 70˚. Asoiii rasanya mendapat trek ini.

Jembatan pertama jalur Gajeboh Dalam-Luar
Kembali setelah memasuki kawasan Baduy Luar, cameraku berontak untuk segera kembali berekspresi. Taraaa … kembali kita jepret sana-sini …..
Melewati 2-3 jembatan, keluar masuk kampung Baduy Luar, kembali aku dan rombongan terpecah menjadi beberapa bahagian. Sisa-sisa tenaga masih aku paksakan untuk tidak menyerah. Tapi …… rasa down itu pun akhirnya kurasakan ditanjakan terakhir yang tiada henti. Kakiku mulai lemas, dadaku tereasa sesak, peluh terus bercucuran dan matahari seolah garang menertawaiku.
“Oh Tuhan ,,, aku hampir menyerah menghadapi tanjakan “gila” ini. “ 

Track Baduy menurutku pribadi sungguh menantang. Karena perjalanan sepenuhnya ditemani peluh keringat dan pancaran matahari yang menyengat. Ini memang tampak seperti pendakian gunung, tapi yang membedakan adalah weather condition. Baduy dengan terik panas dan cucuran keringat sedangkan gunung masih bisa berdamai dengan hawa dingin.

Aktivitas keseharian suku Baduy Luar

Kampung demi kampung yang dilewati

Pelan-pelan langkah kaki masih aku seret semaksimal mungkin. Berharap Ciboleger segera menunggu di depan. Aku tidak tahu bagaimana dengan teman-teman lain yang dibelakang . Semoga semangat mereka lebih bergelora dibanding aku.
Finally ,,, 11.45 moncong rumah Kang Lambry menunggu didepan mata. Ohh ... God ,, ± 5jam tracking perjalanan pulang yang kami tempuh.
Waktu 45 menit yang tersisa dimanfaatkan untuk membeli kerajinan tangan, souvernir, oleh-oleh Baduy. Gantungan kunci, scarft, kain tenun dan yang pastinya madu alami Baduy menjadi santapan siang saya dan teman-teman di rumah Akang Lambry.

Anak lelaki kecil penjaja minuman yang ditemui di track Baduy Luar
 
Jembatan bambu menjelang desa Gajeboh
12.30  Perjalanan kembali ke St. Rangkas Bitung
14.00 St. Rangkasbitung
14.35  St. Rangkasbitung – St. Tanah Abang
-----
Banyak pelajaran yang dapat aku petik dan bawa pulang dari kehidupan tentram suku Baduy, terutama Baduy Dalam. Hidup dengan “menutup diri” dari perkembangan dunia, membuat mereka dapat berdamai selalu dengan alam. Memanfaatkan kekayaan alam semaksimal mungkin dengan cara dan metode yang mereka miliki. Tidak hanya itu. Toleransi antar sesama juga murni tercurah dari pribadi masing-masing jiwa. Model bangunan rumah yang sama, mengajarkan akan arti sebuah kesetaran tanpa mengenal perbedaan si kaya dan si miskin. Kerja keras yang gigih, berladang, berkebun demi topangan hidup dan menyimpan kekayaan tersebut untuk bekal hari nanti disebuah lumbung. Mempertahankan “kepercayaan” yang sudah menjadi pegangan hidup turun-temurun. 

Semua itu memiliki hikmah tersendiri bagi aku pribadi. Untuk selalu mencoba berada dipijakan yang benar dan berpegang teguh pada garis hidup yang selama ini aku jalani.
Terima kasih Baduy , akan pelajaran berharga yang telah engkau berikan.

Baduy, 1-2 November 2014

Model rumah setara suku Baduy

Tambahan informasi untuk teman-teman yang akan ke Baduy :
Akang Lambry Guide Baduy Luar 085778000812
Pak Buyur Elf 085695173939


You Might Also Like

0 Comments