Pendakian Gunung Pangrango via Cibodas

April 04, 2020

“Desember tentu bukan bulan yang baik untuk melakukan pendakian gunung. Tapi, sudah pernah coba belum naik gunung hujan-hujanan? Kalau bagiku, sensasinya seru-seru menantang.”


       Pendakian ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3.019 mdpl ini aku lakukan di hari Minggu-Selasa, 15-17 Desember 2019. Memang agak beda dari pendakian biasanya yang aku lakukan di saat weekend. Yap, karena pendakian via jalur Cibodas ini aku lakukan dalam misi mengemban amanah mendampingi anak-anak pecinta alam Jiwandaru. Enggak semua siswa yang terlibat ekskul sih yang ikut, hanya beberapa, 25 siswa dengan 5 orang guru pendamping ditambah guide 2 orang. Ya, hitungannya sih rombongan sekolah, hehe. Karena melakukan pendakian bukan di hari libur jadi tak elak, pasukan kami jadi perhatian khusus bagi beberapa pendaki lain yang melakukan pendakian di hari yang sama.
        “Keren. Pecinta Alamnya lansung ke Gunung Pangrango. Anak SMA-nya pasti tangguh-tangguh,” sanjung seorang pendaki yang aku temui di sebuah pos pendakian ketika turun.
      “Saya yang deg-degan dampingin mereka. Tapi Alhamdulillah, semuanya aman, sampai puncak dengan selamat.” Jelasku.
        Jujur, beban mendampingi siswa ke gunung itu sangat luar biasa tanggung jawabnya. Disamping mereka jarang naik gunung (sepertiku), sudah tentu perlengkapan mereka juga bukan sekaliber pendaki kawakan. Walau begitu, aku selalu mewanti-mewanti mereka setidaknya mengusahakan perlengkapan pendakian yang standar, tidak perlu yang mahal atau bermerek, yang penting safety.
         Selain itu, tentu dengan persiapan yang matang. Rutin olahraga dari beberapa bulan sebelum rencana pendakian. Bahkan tes terakhir untuk anak-anak ini sebelum diangkut ke gunung adalah dengan membawa ransel di pundak berisikan pasir dengan berat beban berkilo-kilo mengelilingi lapangan bola sambil berlari kecil. Melihat antusias mereka yang luar biasa. Alhamdulillah pendakian ini pun dapat terealisasi dengan sangat baik.  

Menuju Basecamp Cibodas
        Berangkat dari Tangerang Selatan jam 10 malam di hari Minggu. Sampai basecamp jam 1 pagi. Repacking, istirahat sejenak, salat subuh, sarapan, pemanasan dan memulai pendakian.
          Pendakian Pangrango sebaiknya memang dimulai dari pagi hari. Kalau bisa setelah subuh langsung start. Apalagi kalau memang targetnya ngecamp di Mandalawangi, seperti rencana kami kali ini. Namun sayang karena memboyong anak-anak, waktu yang sudah ditargetkan lumayan molor. Pendakian baru dimulai jam 7 pagi.
          Untuk basecamp Cibodas sendiri, lumayan banyak warung-warung yang berjejer bahkan hampir buka selama 24 jam. Jadi gak usah khawatir, kalau datang dini hari ke basecamp, masih gampang nyari tempat buat rebahan dulu sekaligus mengisi perut. Jangan lupa juga sebelum memulai pendakian, bungkus nasi buat bekal makan siang di trek.

          Basecamp Cibodas - Kandang Badak
          Dengan kecepatan sedang menuju pos Kandang Badak dari Cibodas memakan waktu 5 jam, seperti yang kami lalui. Start jam 7 jam 12 siang sudah sampai di pos Kandang Badak.
         Aku pribadi ini adalah napak tilas yang ketiga kalinya di jalur Cibodas. 2 sebelumnya ketika lintas Gunung Gede via Putri-Cibodas. Namun kali ini, harus berusaha ekstra menapaki jalur Cibodas lagi tapi mendaki. Kalau turun bikin mampus jari-jari kaki terjepit di ujung sepatu, sedangkan naik harus siap-siap tungkai kaki meleleh, dengkul ketemu dagu.        
Dalam 5 jam pendakian tidak anteng begitu saja. Karena sesekali curah hujan turun mengguyur trek Cibodas yang didominasi batu. Alhamdulillah, meski begitu tepat tengah hari, kami sampai di Pos Kandang Badak. Seolah dibuntuti hujan lebat, baru saja sampai Kandang Badak, langsung keganasan hujan pun runtuh dari langit.
         
           Pos Kandang Badak
       Belum sempat mendirikan tenda, bahkan baru saja membuka bungkus nasi bekal makan siang, hujan lebat turun. Bergegas kami merapat ke sebuah musola darurat di dekat toilet. Berdesak-desakan juga dengan pendaki lain. Di sela-sela genteng air hujan menitik membasahi.
          Niat ngecamp di Mandalawangi akhirnya harus rela kami urungkan karena hingga jam 4 sore hujan tak kunjung reda. Dan sangat berisiko kalau memutuskan melanjutkan perjalanan hingga puncak.
          Walhasil dalam keadaan berteduh yang mepet-mepet -karena genteng musholanya juga banyak yang bocor- beberapa kompor dinyalakan. Masak air untuk nyeduh minuman hangat serta masak perbekalan pengganjal perut yang makin lapar.
      Jam 4 hujan reda, bergegas tenda didirikan, ganti baju dan langsung masak perbekalan yang dibawa. Selepas magrib, gerimis turun lagi. Apa yang bisa diperbuat di cuaca seperti ini selain tetap meringkuk di dalam tenda sambil berdoa agar semua baik-baik saja.
        Ada hal yang menggelitikku di sore tadi. Ketika anak-anak perempuan dengan bangga pamer kalau nasi mereka sudah matang dan siap untuk disantap. Aku jadi penasaran, bagaimana bisa mereka lihai sekali masak di gunung? Aku saja yang sering naik gunung, masih belum bisa masak nasi pakai nesting.
        “Gampang kok, Bu. Tinggal bawa beras ke tenda sebelah, balik-balik udah jadi nasi,” tunjuknya sambil cekikikan ke tenda yang berdiri dekat musola.
          “O.M.G… pintar ya kamu. Minta masakin ke si bapak guide ternyata.”
       “Haha…Iya, Bu. Mana mungkin kami masak nasi jadi bagus kayak gini.” Tambah mereka sambil tertawa lepas.
          Pintar…pintar… Sudah takut kalah saing saja aku. 
Musala darurat di belakang sana
Kandang Badak – Puncak Pangrango
          “Bu, muncak jam berapa?” Beberapa kali terdengar panggilan bapak guide dari luar tenda diselingi dengan langkah tapak kaki yang sepertinya mau muncak jam 4 pagi.
       “Masih pada tidur, Pak. Entar aja abis Subuh,”jawabku yakin. Karena mustahil rasanya membangunkan anak-anak jam segini.
          Walau saran terbaik untuk muncak adalah ya jam 4 pagi ini, karena biar siang tidak kena hujan di trek. Tapi apa boleh buat, boro, bangun salat subuh saja harus dipaksa, habis itu molor lagi karena dinginnya Kandang Badak lumayan cihuy.
          Alhasil jam 6 pagi baru dipaksa untuk bangun semua. Sarapan dan siap-siap menuju puncak. Tak lupa perbekalan menuju puncak juga dipastikan untuk dibawa semua. Minuman, cemilan, dan pastinya jas hujan. Ohya, dari Kandang Badak menuju Puncak Pangrango enggak ada warung sama sekali. Di Kandang Badak seharusnya ada, cuma bukanya di weekend aja. Kalau mau lewat jalur yang bertabur warung sepanjang trek, Puteri-lah pilihannya.
           Bismillah. Jam 7 pagi menuju puncak
          Di sinilah trek Pangrango sesungguhnya dimulai. Badaiiii ganasnya. Jalur membelah dari Kandang Badak. Kanan menuju puncak Gede dan kiri menuju puncak Pangrango.
          Baru saja meninggalkan Kandang Badak sudah dinanti oleh beberapa jalur dengan kontur pepohonan yang tumbang. Mau tak mau harus membungkuk melewatinya. Begitu seterusnya dua, tiga bahkan lebih trek di dominasi oleh pohon-pohon besar dan akar-akarnya. Keuntungan ngecamp di Kandang Badak adalah kita tidak perlu membawa beban ransel yang berat melewati keganasan jalur menuju puncak. Cukup membawa day pack kecil berisi air minum, snack, jas hujan, obat-obatan dan keperluan ringan lainnya. 
Jalur dengan pohon-pohon melintang mendominasi
        Sesekali kami juga menemui akar pohon yang besar. Kalau tidak hati-hati bisa melilit kaki dibuatnya. Fokus pada jalur sangat dibutuhkan. Lanjut lagi, tanjakan licin yang hanya bertumpu pada beberapa akar pohon atau bahkan tak ada sama sekali. Dam* it. Sungguh menyiksa. Bahkan tak jarang juga lorong-lorong sempit menyemarakkan jalur pendakian. Masuk lorong ke luar lorong dengan kondisi tanah becek bekas semalam. Luar biasa treknya, untung saja bonusnya trek agak melipir bukan tanjakan sadis yang tiada berkesudahan.
     Melewati hutan rimba, lebatnya dedaunan, kabut yang mulai turun menutupi penglihatan. Barulah di depan terdengar teriakan, PUNCAK. Alhamdulillah tepat jam 10 pagi kami semua sampai di puncak dengan selamat sehat walafiat. Bak dibuntuti hujan, baru saja 5 menit sampai puncak dan menyorakkan kebahagian yang lepas, hujan deras langsung mengguyur. Tapi air hujan tak menyurutkan semangat dan kegembiraan kami. Dibalut warna-warni jas hujan, rasa syukur tetap kami ucapkan. Berfoto bersama di tugu Puncak Pangrango lalu bertumpuk berteduh di sebuah pos di sebelah tugu puncak. 
Jalur menuju puncak

          Puncak Pangrango – Lembah Mandalawangi
        Persis di sebelah tugu puncak Pangrango ada sebuah pos kecil yang hanya beratap genteng. Di sinilah kami berteduh, berdempet-dempetan hanya sekadar meneduhkan kepala. Beda dengan bapak guide, ada yang bawa payung, tak tanggung-tanggung, payung berwarna pink. Sementara kami berteduh berdesak-desakan di pos genteng beliau malah tersenyum-senyum di depan kami di bawah payung pinknya.Untung saja tidak weekend. Jadi tidak banyak pendaki lain kecuali hanya kelompok kami.
        Menunggu hujan reda tidak mungkin, karena tipikal hujannya bakalan awet. Akhirnya bapak guide tetap berinisiatif menghalau kami hujan-hujanan menuju lembah Mandalawangi.
       “Ayo lanjut aja. Deket, kok” ucap si bapak.
    Demi melepas penasaran meluncurlah para astronot berjas hujan menuju lembah Mandalawangi. Eh tapi benar saja, tidak sampai 3 menit hamparan padang edelweiss sudah menanti di depan mata. Di bawah rintik hujan, air mata bercampur dengan haru. Akhirnya Tuhan, sampai juga aku di sini. Melihat jejak Soe Hok Gie. Ingin rasanya memutar lagu Cahaya Bulan, dan agak berlama-lama di sini menikmati keindahan ini. Tapi apa daya, hujan tak kunjung reda. Ditambah lagi tidak ada satu pun tempat untuk berteduh selain hanya bertudung jas hujan.
     Walau tak seluas Surya Kencana, Mandalawangi punya pesona tersendiri. Keheningannya berhasil memikat hati. Terkesan masih sangat syahdu dalam kesendiriannya.
       Anak-anak sangat menikmati berada di area ini. Mereka mengindahkan air hujan yang terus turun. Berpetak umpet HP atau camera agar tak kena air hujan tapi tetap bisa mengabadikan jepretan di lembah Mandalawangi yang fenomenal ini. Hhmm, rasanya aku tak salah mengambil keputusan untuk tidak jadi lanjut ngecamp di Mandalawangi, selain treknya yang jitu di Mandalawangi ini juga tidak ada sama sekali sumber mata air, tidak ada warung bahkan juga tidak ada tenda lain yang berdiri. Ngeri juga. Entahlah, apa memang karena weekdays atau memang sehari-harinya jarang yang ngecamp di sini. Sepi. KaItulah kesan Mandalawangi.
        Setidaknya Kandang Badak cukup punya fasilitas. Sumber air, musola (walau darurat) bahkan toilet. Iya toilet yang suitable. Bisa bayangkan bagaimana mereka membangun toilet di ketinggian seperti Kandang Badak? Makanya, sadar ya. Ke Toilet jangan lupa bayar. 
Hello dari Mandalawangi
      Tidak berlama-lama di Mandalawangi dan khawatir hujan makin lebat, kami harus merelakan berpisah dengan Mandawangi. Bapak guide menyarankan kami semua segera turun sebelum diserang hypo karena kedinginan dan basah kena hujan. Singkat tapi penuh makna. See you again Mandalawangi.
          
          Puncak Pangrango – Kandang Badak
Menuju puncak lagi dan langsung turun dalam kondisi hujan-hujanan. Apa yang terjadi? Yah, sesuai dugaan tentu saja trek-trek yang berupa selokan dan bandar yang kami lewati saat naik sudah menjadi sungai kecil dengan aliran air. Makin asoi treknya. Lewati aliran air. Hati-hati dan tetap berdoa semoga anak-anak semua baik-baik saja. Tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya penuh kehati-hatian dan terus menerjangnya karena tidak ada jalur alternative. Walau sesekali hujan reda, tapi hujan lagi. Begitu seterusnya cuaca bergantian memainkan perannya.
Tapi Alhamdulillah semua terlewati dengan aman. 1 jam setelahnya kami semua kembali tiba di camp area Kandang Badak dan lagi-lagi masih dalam kondisi hujan.
Trek turun
           Kandang Badak – Basecamp Cibodas
     Tiba di camp Area Kandang Badak kami bergegas untuk mengisi perut dan melaksanakan salat. Menyicil packing untuk bersiap-siap turun. Namun, dalam kegaduhan berberes hujan lebat kembali mengguyur. Peralatan makan, kompor, nesting-nesting masih bergeletak di luaran tenda. Belum sempat merapikan guyuran hujan dahsyat sudah turun. Alhasil kembali meringkuk di dalam tenda sembari menunggu hujan reda.
        Pukul 14.00, 15.00 hujan tak kunjung jua reda. Gerimis pun tidak. Masih lebat menghantam bumi. Nampaknya tak akan segera reda. Khawatir makin kemalaman untuk turun, pak guide menginstruksikan untuk segera saja bongkar tenda walau kondisi hujan-hujanan. Bagaimana lagi, daripada menunggu yang tidak pasti?
         Ransel-ransel yang sudah beres segera dioper ke mushola darurat. Jas hujan kembali dipasang. Untung, kami membawa persediaan jas hujan lebih. Jadi walau yang satu sudah basah atau bahkan sobek, masih ada stock lagi. Di bawah rintik-rintik hujan kami terpaksa membongkar tenda, merapikan peralatan-peralatan yang masih tergeletak. Sesekali aku juga memonitor anak-anak. Takut ada yang tidak gerak akhirnya kedinginan. 

Area camp Kandang Badak diguyur hujan tiada henti
        Jam 4 sore, Bismillah, kami turun hujan-hujanan. Dalam kondisi waspada. Air, senter dan obat-obatan ditata di tempat yang paling mudah untuk dijangkau. Karena prediksi bakal malam sampai di basecamp.
        Walau sepanjang pendakian kami diberkahi hujan, tapi pada anak-anak tetap kami sampaikan rasa syukur. Walau beban makin berat bercampur air hujan, sepatu basah, tas basah, semua basah meski sudah pakai jas hujan harus tetap bersyukur, masih diberi keselamatan dan kesehatan untuk semua tim.
      Azan magrib berkumandang kami juga masih tetap di trek. Istirahat di pos lalu mengeluarkan senter masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Bapak guide dan guru pendamping berbagi formasi di depan, tengah dan belakang untuk memantau anak-anak lebih intens. Sudah malam jangan sampai ada yang terpisah walau sebenarnya trek sudah sangat jelas.
          Alhamdulillah dengan semangat yang terus menggebu-gebu dan rasa syukur yang tak henti kami semua sampai kembali ke basecamp di jam 7 malam dengan semua tim selamat sejat walafiat tanpa kurang satu apapun jua. 
Thank you, team
          Pangrango yang sangat aduhai.
       Buat pendaki pemula, tentunya Pangrango bukanlah pilihan gunung yang tepat. Karena adu dengkul, bukan adu rayu. Lalu kok bisa anak-anak SMA sampai ke puncak sini? Seperti yang aku sampaikan di atas karena mereka sudah dilatih, bahkan nonstop tiap minggu dari bebrapa bulan sebelumnya.
        Walau hujan mendominasi selama pendakian, Alhamdulillah aku tetap bersyukur. Puncak Pangrango akhirnya dapat digapai.
Menutup pendakian gunung ke-5 ku di tahun 2019.
Menutup pendakianku di 2019.
Ciremai, Sumbing, Sindoro, Kembang, dan Pangrango.
Alhamdulilah. Sampai jumpa puncak-puncak berikutnya.

For more pictures check on my Instagram account @wildahikmalia      

You Might Also Like

0 Comments