Pendakian Sejuta Dua Puluh Lima Ribu Gunung Kembang

Desember 30, 2019


“Eh koyonya Deni masih ada gak?”
Buru-buru lihat kaki Deni. “Masih ada, aman.”
“Pantau terus, Den. Sejuta dua puluh lima ribu, tuh.”
“Kalau hilang gue cuma ada dua puluh lima ribunya doank nih, elu yang sejutanya.”
“Hush, jangan ngomong gitu. Entar kejadian. Ingat. Ucapan sebagian dari doa.”
Begitulah kira-kira obrolan kami sepanjang pendakian naik yang diguyur hujan lebat. Tidak hanya soal koyo, sampai choki-choki, madu dan puntung rokok pun tak luput dari perhatian bersama. Semua tidak lain karena uang denda sebesar Rp1.025.000,- untuk satu sampah yang hilang atau kececer, yang ditetapkan oleh pihak basecamp Pendakian Gunung Kembang via Blembem.

Sebelumnya I’m sorry to say, dalam tulisan kali ini tidak akan banyak terdapat foto-foto footages sepanjang pendakian naik maupun turun. Alasan pertama adalah tadinya aku tak berniat sama sekali untuk membuat artikel spesial untuk pendakian ini. Karena Kembang aku anggap sebagai pelarian padatnya aktivitas di bulan November. Jadi bisa diibaratkan aku naik Kembang inginnya memang santai, tanpa ribet buat foto-foto atau pun catat-catat info sepanjang pendakian. That’s why juga tulisan ini sepenuhnya berdasarkan ingatanku yang pas-pasan dan beberapa info tambahan dari teman-teman pendakian. Biasanya setiap melakukan perjalanan aku selalu mencatat informasi apa pun itu entah di Hp atau pun notes di kertas kecil yang selalu aku bawa. Tapi kali ini, sama sekali hal tersebut tidak aku lakukan.
Alasan kedua, sepanjang pendakian didominasi hujan, alhasil kamera tidak bisa dikeluarkan. Pun aku juga tidak membawa action camera yang bisa menangkap momen dikala hujan. So, semua benar-benar zonk.
Tapi setelah melakukan pendakian dan melihat betapa pendakian Kembang kali ini banyak cerita atau informasi yang sekiranya perlu aku share, jadilah aku bertekad juga menuntaskan tulisan ini. Agar, setidaknya kamu yang baca bisa sedikit mendapat gambaran atau pencerahan tentang Gunung Kembang, yang sering dibilang kecil-kecil cabe rawit.
Gunung Sindoro tampak gagah dari puncak Kembang
Ketika mau melakukan pendakian Gunung Kembang banyak yang bertanya di mana keberadaan gunung ini. Well, Gunung Kembang ini terletak di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di desa Blemben, Kaliurip, Kertek, Wonosobo. Banyak yang bilang juga kalau Kembang ini adalah anaknya Gunung Sindoro karena persis terletak di samping Sindoro. Jadi di puncaknya gunung Kembang ini terlihat jelas gunung Sindoro sebagai background favorit foto di puncak Kembang.
Walau jalur pendakian resminya baru dibuka April 2018 lalu dan masih banyak orang yang belum tahu bahkan meremehkan ketinggiannya yang hanya 2.340 mdpl, tapi sejatinya Kembang tidak seperti yang dipikirkan kebanyakan orang. Banyak informasi yang harusnya kamu ketahui terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian Gunung Kembang. So, ini dia beberapa informasi random tentang Kembang berdasarkan pendakianku bersama 12 orang teman lainnya hari Jumat s.d Minggu, 29 November s.d 1 Desember 2019.

Eksekusi Rescue Orange Kembang
       Pernah naik ojek ala-ala motortrail di Sumbing? Masih kebayang bagaimana trek motornya yang membuat penumpang serasa terbang? Nah, kalau di Sumbing bisa menghemat waktu pendakian dengan naik ojek, di Kembang pun juga bisa. Bedanya, di Kembang basecamp menyediakan mobil rescue khas berwarna orange untuk mengangkut para pendaki dari basecamp menuju batas akhir hutan. Treknya, hampir sama dengan Sumbing. Jadi ketika naik mobil ini dan duduk di depan membuatku menelan ludah dan tak berhenti geleng-geleng kepala. Membayangkan betapa ngerinya naik motor ketika di Sumbing dengan trek seperti ini.
Naik mobil dari BC Kembang Lumayan loh untuk menghemat waktu pendakian. Kurang lebih 45 menit atau bahkan 1 jam lebih dari basecamp melewati hamparan kebun teh yang panjang sampai nanti akhir batas masuk hutan.
       Tadinya satu pun dari kami tak ada yang tahu kalau ada fasilitas mobil ini. Waktu petugas menawarkan mau naik Tayo atau tidak, dari situlah baru tahu mobil rescue orange ini  biasa dipanggil Tayo. Padahal jelas-jelas jauh bedanya. Dari warnanya saja sudah tidak serupa.  
 Harga untuk naik Tayo adalah Rp20.000,-/orang yang nantinya akan dapat caseback berupa Teh Tambi setelah turun gunung. Gokil, kan ada caseback segala? Menurutku sih untuk menghemat pendakian, baiknya memang naik Tayo aja sampai akhir batas kebun teh. Eh, tapi juga perlu diketahui, si Tayo ini tidak selalu stand by di basecamp, ya. Semoga saja saat kamu naik nanti, seberuntung kami waktu itu. 
Poto 3 Pose dulu barengTayo… [foto by @abdeelho]
Pengecekan barang bawaan yang super ketat
Jangan macam-macam ya dengan Kembang.
Seperti yang aku mention di atas, denda yang ditetapkan oleh pihak basecamp terhadap sampah, bukan hal yang main-main. Beberapa kali naik gunung, baru kali ini nih sebelum pendakian dimulai pengecekan terhadap barang-barang yang dibawa oleh pendaki benar-benar dicek satu-persatu. Tak ada yang luput, mulai dari sebutir permen pun harus masuk dalam hitungan. Bahkan salonpas pun dihitung perbijinya, bukan per bungkus. Rokok? Apalagi. Dihitung berapa puntung yang akan dibawa ke atas. Tak bawa asbak? Tenang, dibekali langsung oleh pihak basecamp agar puntung rokoknya nanti dibuang ke asbak yang sudah disediakan bukan dijalanan apalagi sembarangan.
Pengecekan barang ini tentunya didampingi oleh pihak basecamp. Semua bawaan barang dalam ransel dicek secara bersama sampai details-sedetails-detailsnya. So, hati-hati jangan sampai salah hitung dan tulis ya. Bisa kena 1.025.000 nantinya. Karena ketika aku bertanya kepada pihak basecamp pernah gak ada pendaki yang melanggar atau khilaf melanggar? Mereka menjawab, tentu ada. Dan pastinya 1.025.000 itu berlaku untuk mereka yang melanggar.
“Itu dibayar cash, Pak?” naluri tukang tanyaku langsung ke luar.
“Nah, kami di sini tidak terima pembayaran cash. Biasanya kami minta pendaki yang melanggar itu untuk membelikan barang-barang yang dibutuhkan. Jadi bentuknya bukan uang tapi barang.” Begitu penjelasan basecamp. Hhhmm, interesting.
“Loh, terus jaminan mereka belikan barang itu?” Aku makin penasaran.
“KTP dan barang-barang mereka ditinggalkan dulu di basecamp. Merekanya turun, beli, trus balik lagi. Jadi dibelikan saat itu juga. Bukan mereka sudah sampai ke rumah.” Tegas Om Sasongko, pihak basecamp yang aku tanyai.
“Tapi emang baru kali ini loh Pak selama saya naik gunung di Jawa yang benar-benar ketat begini,” tambahku.
“Yang lainnya (gunung) menyusul, Mbak. Itu ada dari pihak basecamp Sumbing dan Lawu lagi training. Kedepannya nanti semoga gunung-gunung yang lain akan mengikuti aturan seperti ini.”
“Tapi selalu ada pro kontra ya Pak?”
“Tentunya. Kalau yang kontra, ya gak usah naik. Sampai basecamp aja, kita ngobrol-ngobrol,” lanjut Om Sasongko yang lebih akrab dipanggil Om Ong. “Aturan itu untuk ditaati, kalau gak mau taat ya gak usah (naik).”
Sepenggal obrolan dengan pihak basecamp.
One more suggestion, biar gak repot nanti setelah sampai basecamp milah-milah sampah yang dibawa, jadi baiknya sudah dipisah-pisahkan waktu packing turun. Sampai basecamp; tinggal setor, dihitung, dan dicek ulang oleh petugas. Daripada disatukan di atas malah pas turun harus memisahkan mereka lagi, kan jadi kerjaan dua kali, memisahkan yang sudah bersatu. Syukur-syukur juga gak kena semprot petugas dan di bilang, jorok. 
Briefing dan pengecekan sebelum naik 
Tidak diperkenankan membawa botol air mineral kemasan
Salah satu yang wajib menjadi perhatian ketika pengecekan barang sebelum pendakian adalah dilarangnya botol minuman kemasan plastik sekali pakai untuk dibawa. Wajib membawa tumbler sendiri. Sebelum melakukan pendakian aku sempat searching untuk hal ini, antisipasi aku bahkan ampai bawa dua buah botol minuma. Satu termos dan satunya lagi tumbler 700ml. Benar saja. Aturan ini sangat berlaku di gunung Kembang.
Lalu bagaimana membawa persediaan air untuk ke puncak? Don’t worry, para pendaki bisa menyewa jerigen yang sudah disediakan oleh pihak basecamp. Harga sewa satu dirigen adalah Rp10.000,- yang mana lagi-lagi nanti akan ada caseback Rp8.000,- saat dikembalikan ketika turun. Satu hal lagi, karena tidak adanya sumber air selama pendakian dan di puncak. Jadi bawalah persediaan air minum yang sangat cukup dari basecamp. Bisa beli air mineral Aqua atau mengisi di mata air basecamp. Eh tapi seriusan loh, aku pikir air mineral yang dijual di basecamp adalah merek lain atau lokal. Tapi tidak, sekelas Aqua loh mereknya. Hehe. 

No tissue basah
Hal lainnya yang dilarang adalah tissue basah. Hhhm, sebenarnya aturan ini sudah hampir merata ya di berbagai gunung. Bahkan salah seorang teman yang baru-baru ini turun dari Sindoro pernah kena denda ketahuan bawa tissue basah. Yang mau tak mau harus membayar denda yang sudah ditetapkan.

Area pendakian bebas sampah
Dampak dari aturan ketat soal sampah tadi, sepanjang pendakian aku sama sekali tidak menemukan sampah yang berceceran seperti gunung-gunung lain yang pernah aku daki. Pun ketika di puncak tak ada area pembakaran atau pun tumpukan sampah. Semuanya bersih kinclong. Karena masing-masing pendaki langsung mengamankan sampahnya untuk di bawa turun lagi. Ingat, resiko kehilangan satu sampah yang sudah di list adalah 1.025.000. 

Trek yang tancap terus
      Bagaimana dengan trek Kembang? Gak ada bonus sama sekali, euy. Semuanya tanjakan terus sampai atas. Sungguh mantul treknya. Ditambah lagi hujan-hujanan ketika pendakian. Lengkap sudahlah pendakian Kembang kali ini. Lalu, mengingat treknya yang tak mudah, kayaknya Kembang belum terlalu pas untuk pendaki pemula. Walau banyak yang meremehkan karena ketinggiannya tak seberapa. Percayalah, Kembang lebih ganas dari yang dibayangkan. 

Beberapa trek disediakan tali
     Banyaknya trek yang curam tak urung untuk mempermudah pendakian banyak disediakan beberapa tali yang kokoh untuk berpegang para pendaki. Hal ini cukup membantu terutama saat pendakian di musim hujan. Kalau tidak, agak repot sih. Bisa berlumur lumpur dibuatnya.

 Tak ada pos
          Maksudnya tak ada pos di sini adalah satu pun pos di gunung Kembang hanya pos yang berbentuk papan kecil bertuliskan nama pos. Tak ada sama sekali entah itu gubuk atau bangunan untuk istirahat berteduh. Tak ada pos dan juga tak ada warung. Haha ya salam. Pendakian hujan-hujanan pun terus dilanjut. Mau istirahat di pos juga percuma tetap kehujanan. 
Hello dari Puncak Kembang dengan latar Sindoro tertutup di belakang sana
         Area camp hanya di Puncak
     Di sepanjang trek tidak ada area khusus untuk mendirikan tenda. Hanya saja menjelang Tanjakan Mesra ada sedikit area yang bisa mendirikan 1 atau 2 tenda. Selebihnya memang area camp di pusatkan di puncak. Hal ini jugalah yang membuat Kembang menurutku unik. Sebagai seseorang yang susah bangun pagi, Kembang sangatlah mantul. Tak perlu bangun dini hari atau subuh, toh sudah ngecamp di Puncaknya. Buka tenda, lihat Sindoro dan jepret-jepret area camp puncaknya. Seru, kan?

          Hati-hati Celeng
Selain tidak adanya area khusus untuk ngecamp sepanjang trek, alasan lainnya adalah maraknya Celeng Kembang yang beredar di malam hari. Jangankan di trek, saat malam hari aku dan tim sedang enak-enaknya memasak tak luput dari pantauan gerombolan Celeng. Ih seriusan ngeri euy. Sarden yang tadinya mau dimasak malam hari, tak jadi. Karena bisa mengundang kawanan Celeng untuk mampir ke tenda. Tak mau ambil resiko, stok makanan pun di dalam tenda aku keluarkan dan kasihkan kepada para lelaki. Kan ngeri kalau malam-malam tenda di amuk oleh gerombolan Celeng yang mencari makan.
Saat masak teman-teman juga ramai menyenteri Celeng di sekeliling tenda kami. Aku, mana berani untuk ikut celingak-celinguk melihat mereka. Tak melihat mereka secara langsung pun sudah membuatku bergidik. Bahkan sampai-sampai kebawa mimpi, tenda di endus-endus Celeng. Duh, Celeng…Celeng.

          Tanjakan Mesra - tanjakan yang tidak berperikemanusiaan
       Kalau Sumbing ada Engkol-Engkolan, Kembang juga ada yang serupa. Namanya, Tanjakan Mesra. Duh, jangan dibayangkan deh tanjakannya indah seindah namanya. Menurutku pribadi ini tanjakanan melebihi Engkol-Engkolan deh. Sudah gak ada pohon-pohonan yang tumbuh untuk pegangan, ditambah lagi hujan, lengkap sudah penderitaan di tanjakan ini. Merosot, merosot deh. Naiknya saja sudah hampir bikin mampus, apalagi turunnya ya, kan? Pokoknya asoy. Filosofi nama tanjakan ini dapat, deh. Karena hampir gak bisa dilewati dengan mudah seorang diri. Butuh pegangan, cuy. Sebab itulah tanjakan ini dinamakan Tanjakan Mesra.
         “Dulu waktu pertama kali kita survey jalur ada teman tuh pasangan yang pegangan pas lewatin trek itu. Gak bisa sendiri dia. Akhirnya jadilah kita namakan Tanjakan Mesra. Tanjakan yang membuat pegangan biar mesra” ujar Om Ong tertawa lepas mengingat memori kala itu. Hal itu sangat berlaku buatku yang suka ngilu kalau sudah melewati turunan licin. Butuh pegangan, euy. Untung ada teman pendakian yang rela membantuku untuk menuruni Tanjakan Mesra. Gak cukup satu trekking pole doank. Karena sudah parno duluan bakal kepleset. Hadeeeh.
Menuruni Tanjakan Mesra - walau pada foto hampir terlihat biasa saja, tapi cobalah rasakan sendiri terutama ketika musim hujan. [foto by @herii28_]
Pacet vs Cacing
Pernah lihat secara langsung bagaimana pacet menyedot cacing ketika hujan-hujanan? Sumpah, ini adalah pengalaman ter-epic-ku selama naik gunung. Sudah selama pendakian hujan, gak ada pos buat berteduh, eh sepanjang trek banyak nemu pacet yang lagi gencar-gencarnya mengejar mangsanya, cacing. Duh, boro-boro ketika istirahat mau duduk. Sudah geli duluan. Mau nempel pohon, takut, duduk di batu, apalagi. Sudah parno duluan kalau ada pacet dan tiba-tiba masuk ke badan. Apalagi kondisi lagi basah. Sumpah lagi, sepanjang pendakian aku tak rehat duduk sama sekali, euy. Hanya nunduk atau tarik nafas sambil berdiri aja. Gokil, sih. Gokil. Cuma sekali doank menjelang Tanjakan Mesra ketemu pohon tumbang yang agak tinggi. Berpikirnya dah pasti gak kesampean sama pacet buat manjat. Baru deh di situ istirahat sejenak, rebahan.
Memang ya, kalau sudah urusan sedot-menyedot pacet, nyerah deh, nyerah.
Kondisi hutan yang masih rapat dan lembab itu sih yang membuat pacet masih lumayan banyak berkeliaran di gunung ini. Ditambah lagi dengan kondisi hujan, jadilah mereka bergerilya ke luar menampakkan diri dan mencari cacing-cacing. Seriusan, ini menjadi tontonan seru buat teman-teman yang lain. Kalau lihat pacet yang sedang kejar-kejaran dengan cacing semua antusias menyaksikan. Apalagi kalau sampai si cacing dapat disedot si pacet. Ramai deh. Sayang aja, gak ada yang mengabadikan momen ini. Tak satu pun yang bawa underwater camera.
Oya, pacet Kembang ini yang pacet panjang ya, hampir mirip dengan cacing, bedanya dia lebih lincah dari cacing. Awalnya sempat bingung, kok cacing ngejar cacing? Ular, gak mungkin soalnya tipis dan hampir sama pipih seperti cacing. Mau aku add gambarnya di sini, ambil dari google, tapi gak jadi, udah geli duluan, euy
Camp area di Puncak
Sumbing dan gunung lainnya nun jauh di sana
Simaksi
      Sebelum memulai pendakian jangan lupa isi data lengkap terlebih dahulu. Agar datanya akurat dan jaga-jaga kalau ada hal darurat terdata dengan baik oleh pihak Kembang. Nah, untuk simaksi ini per orang dikenakan biaya Rp20.000,-

Itinerary
Seperti biasa pendakian ini dimulai dari meeting point bersama teman-teman yang lainnya di Jakarta. Berangkat Jumat malam dan sampai basecamp Sabtu pagi. Mulai naik jam 1 siang. Karena mempersingkat pendakian dengan naik Tayo, Alhamdulillah kurang lebih 4 jam-an kami sudah sampai Puncak. Sekitar jam 6 sore tenda-tenda sudah berdiri. Bersih-bersih dan mulai main masak-masakan.
Minggu pagi menikmati puncak. Foto session tentunya. Lalu jam 9 lanjut packing turun. Jam 10 pagi turun, dan Alhamdulillah sekitar jam 12 harusnya kami sudah sampai basecamp. Namun karena terlena di kebun teh, istirahat lama sekitar 30-45 menit sekaligus menunggu teman yang lain. Jam 1 siang barulah tiba di basecamp lagi. Setelah melewati hamparan kebun teh, aku semakin yakin pilihan yang sangat tepat ketika memutuskan naik tayo untuk melewati trek kebun teh. Karena treknya lumayan panjang. Selain itu, cukup berhati-hati juga ya, jangan terlalu nempel ke pucuk-pucuk teh, banyak ular dan binatang melata lainnya. Kan ngeri kalau sampai nempel di baju. 

Pos Pendakian
Berikut uraian posnya :
Basecamp – Istana Katak – Kandang Celeng – Pos 1 Liliput – Pos 2 Simpang Tiga – Pos 3 Akar – Sabana – Tanjakan Mesra – Puncak. 

Well, itu dia ulasan Pendakian Gunung Kembangnya. Beberapa info yang aku share di atas, tidak menutup kemungkinan akan ada perubahan ke depannya. So, bisa diceklah updetan terbaru sebelum mendaki Gunung Kembang. Terima kasih sudah berkenan mampir dan menuntuskan membacanya. Semoga bisa menjadi referensi. 
For more pictures and short stories bisa mampir ke Instagram @wildahikmalia.
Yuk, muncak lagi yuk…
Thanks Kembang’s squad  

You Might Also Like

0 Comments