Pendakian Gunung Sindoro Via Kledung

September 25, 2019

Gunung Sumbing tampak dari area camp-sunrise point Sindoro
“Jangan naik lagi! Belerang! Bahaya!” teriakan yang terdengar dari POS 4.
             Siang itu puncak Sindoro gagal untuk dicapai. Yap, stuck di POS 4 jam 10.30 pagi. Walau ambisi sebenarnya mau meneruskan pendakian tapi ketika bertanya kepada pendaki yang baru turun puncak, mereka kompak menjawab, sudah tidak aman di atas. Akhirnya pasrah, menahan ego.
          Selain belerang sudah turun mendominasi, trek dari POS 4 menuju puncak pun masih banyak yang php. Dari satu bukit ke bukit berikutnya dan naik-turun tak terhingga. Dari POS 4 saja puncak Sindoro tak sedikit pun tampak batang hidungnya. Katanya masih sekitar 1-2 jam lagi. 1 jam itu pun bagi yang ngebut tanpa rem. Makin lambat durasi pendakian tentunya makin siang sampai atas dan sudah dapat dipastikan tidak akan bisa, karena bahaya belerang.
          Bahaya? Ya, itulah alasan utama akhirnya pendakian gunung Sindoro yang aku lakukan di penghujung bulan Juni 2019 hanya bisa sampai POS 4. Atau lebih tepatnya tak mau membahayakan keselamatan. Sedih dan kecewa? Hmmm ya sedikit, sih. Selebihnya adalah syukur masih bisa sampai menginjakkan kaki di POS 4 dengan selamat sehat wal’afiat sementara beberapa pendaki lain ada yang sudah melambaikan tangan ketika POS 4 tak kunjung jua tampak.
          Akhirnya, ya sudah enjoy di POS 4 Batu Tatah saja. Foto-foto di semak ilalang dan edelweis yang menghampar luas. Serta tak ketinggalan leyeh-leyeh di bawah pohon sambil bercengkrama dengan teman pendakian. Selain itu, tak lupa juga untuk mengabadikan beberapa jepretan keren di batu besar yang fenomenal di POS 4.
POS IV Batu Tatah
          Area POS 4 Batu Tatah ini tidak terlalu luas. Sebenarnya bisa juga untuk mendirikan tenda, tapi hanya muat untuk beberapa saja. Selain itu kurang agak aman karena areanya yang cukup terbuka. Khawatir badai dan kondisi cuaca lain. Belum lagi trek menuju POS 4 ini cukup berat serta gila ampun parah. Bawa badan naik saja sudah ngos-ngosan apalagi bawa keril di punggung. Dijamin tambah nyooos dibuatnya. 
Trek nanjak terus
            Bukan tanpa alasan kenapa pendakian kali ini tidak bisa mencapai puncak. Ini pun juga kali pertama buatku naik gunung dan tak sampai summit.
          Alasan utamanya adalah persoalan kendaraan. Mobil yang aku dan teman-teman tumpang dari Jakarta lelet dan lemot parah. Berangkat dari Jakarta hari Jum’at malam jam 22.00 dan baru sampai di basecamp jam 15.00 hari Sabtu. What a horrible journey. More than 12 hours from Jakarta to Wonosobo, Central Java. Gereget, melihat laju mobilnya di jalan tol.
          “Kayak naik odong-odong,” kesal seorang teman.
        Selain lajunya yang lambat, mobil yang kami rental bersama ini juga mengalami kendala lain dalam perjalanan. Beberapa kali mogok dan trouble sepanjang jalan menuju basecamp. Hhmmm, baiklah hanya sabar dan pasrah yang dapat diperbuat.
          Sore sampai basecamp membuat pendakian baru bisa dilakukan menjelang malam hari. Re-packing terlebih dahulu, mengisi perut, simaksi dan barulah langkah kaki beranjak menuju puncak Sindoro.
               Bismillah, 16.45.
          Ini dia pendakian yang sudah lama aku idam. Bukan hanya sekadar pendakian gunung Sindoronya yang menarik buatku tapi juga pendakian malam hari yang membuat binar bahagia di tergurat wajah. Pendakian malam hari yang sudah dinanti-nanti.
          Kenapa aku lebih menyukai pendakian di malam hari? Jawabannya adalah karena sensasinya sangat berbeda. Terutama sekali bagaimana kejamnya trek tidak akan terlihat. Walau tanjakan menantang di depan mata, ya tampaknya biasa-biasa saja. Namanya juga malam hari. Ini yang aku suka. Kalau naik siang, melihat sedikit ke atas dan nampak tanjakan, belum jalan saja sudah terengah-engah dibuatnya.
          Selain itu, fokus. Ya, pendakian malam hari menuntut kita harus sangat fokus dan cekatan dalam berjalan. Kehati-hatian sangat diutamakan.
Tapi yang paling berkesan bagiku tentang pendakian malam hari adalah momen ketika break. Beralaskan ransel di tanah, selonjoran, matikan senter, diam, nikmati helaan nafas, resapi suara binatang malam, angin yang berhembus pelan membelai pepohonan adalah nikmat yang tak bisa dipungkiri. Ditambah lagi apabila dapat kesempatan melihat ke langit luas, Masya Allah, terkadang taburan bintang menemani.
          Sepanjang pendakian malam, yang paling membuatku terkesan adalah pendakian malam hari ke Ranu Kumbolo, Semeru tahun 2013 dan Merbabu 2015. Super duper bahagia ditemani bintang-bintang dan pemandangan pemukiman warga di bawah sana. 
POS 1 batas terakhir naik ojek
            Lalu, bagaimana trek Sindoro?
       Mungkin sebagian orang mengatakan 11-12 dengan Sumbing. Yap, kurang lebih kenyataannya memang begitu. Tapi menurutku Sumbing masih yang terberat. Namun, Sindoro juga tak kalah beratnya. Kalau Sumbing identik dengan satu tebing batu ke tebing batu berikutnya, sedangkan Sindoro adalah bentuk trek yang sangat panjang. Sudah panjang, banyak tanjakan juga. Dan debunya luar biasa, mengingatkanku Dieng via Patak Banteng. Didominasi trek berdebu seperti ini tentunya kalau naik di musim hujan, ya salam treknya bakalan licin parah.
          Yang paling berkesan tentang Sindoro?
Dingin POS 3 area basecamp sungguh sangat menusuk tulang malam itu. Pendakian yang baru dimulai senja menjelang malam mengakibatkan sampai di area camp POS 3 jam 21.45 malam. Aku termasuk dari beberapa teman yang sampai lebih dulu di area camp. Nahasnya, kami yang jalan awal ini tak satu orang pun yang membawa tenda. Perlengkapan tenda di bawa oleh teman lain yang masih di belakang. Akhirnya pada kedinginan. Untung sebuah warung yang berdiri di POS 3 ada sekelompok pendaki yang menyalakan parafin. Aku pun merapat ke sana mencari kehangatan. Please, bagian yang ini jangan dicontoh. Harusnya koordinasi perlengkapan harus pas terutama jika nanjak malam hari.
Jam 11 malam barulah aku berhasil merapat ke dalam tenda dalam kondisi yang sudah kedinginan. Ganti baju dan langsung terlelap tidur.
Selamat malam Sindoro.
POS 3 berlatar warung tenda putih
       Rencana awal untuk summit dini hari ternyata memang hanya menjadi sebuah rencana. Karena sampai area camp tengah malam, akhinya pagi hari pada terlelap tidur kelelahan di bawah sleeping bag masing-masing. Atau mungkin malah tak mau beranjak karena dingin yang mendekap. Hal ini jugalah yang membuat telat muncak. Akhirnya stuck di POS 4. Hanya beberapa orang dari tim yang memutuskan untuk memulai pendakian ke puncak di pagi buta. Dan mereka tersebutlah yang akhirnya berhasil mencapai puncak Sindoro.
Aku sendiri? Baru memulai perjalanan jam 7 pagi menuju puncak dari POS 3. Waktu yang sangat tidak pas.
          Berdasarkan pengalaman ini, aku dapat merekomendasikan jika mau summit dari area camp POS 3, sebaiknya pendakian menuju puncak bisa dimulai jam 2-4 dini hari.
          Intinya adalah benar-benar siapkan mental yang kuat untuk Sindoro. Atur waktu pendakian yang pas. Pilihan naik malam, oke saja. Tapi bakalan sedikit istirahat. Memang sebaiknya jam 2 atau 3 pagi sudah mulai pendakian menuju puncak. Biar tidak terlalu siang. Karena di atas jam 11, belerang Sindoro sudah turun. Sangat berbahaya.
          Fisik juga tentunya harus disiapkan secara matang. Sangat matang malah. Logistic juga, terutama air mineral. Tak elak banyak aku temukan pendaki yang turun dari puncak kekurangan air minum. Penting! Sangat perlu disiapkan semua dengan maksimal apalagi jalur dari POS 3 menuju puncak sangat panjang.
          Selebihnya, percayalah pada kekuatan diri sendiri. Kalau sanggup, ya monggo terus kejar sampai puncak. Kalau tidak? Jangan dipaksakan.
Lautan awan di POS 4
         Dari awal strategi pendakian gunung Sindoro ini sudah salah. Dimulai dari bus yang rusak dan kendala di jalan, alhasil turun pun baru sampai basecamp malam hari. Diperparah lagi sampai Jakarta juga telat. Lagi-lagi juga karena kendaraan.
          It’s okay … untuk bisa dinikmati dan dipelajari.
          Tambahan informasi untuk Sindoro, dari basecamp menuju POS 1 bisa menggunakan jasa ojek setempat. Tapi jangan bayangkan ojek dengan penumpang duduk di depan seperti Sumbing. Beda. Sindoro kebanyakan motor biasa saja bahkan aku lihat ada yang pakai motor matic. Mantaaap. Kalau aku pribadi memutuskan untuk tidak naik ojek alias PP jalan kaki. Lebih santai dan treknya tidak seseram Sumbing.
          Thanks Sindoro. Ekspedisi triple S tersisa 1 lagi. Soon, Insya Allah Slamet. Semoga masih terjamah di tahun ini.
Terima kasih juga teman-teman pendakian. Terima kasih kebersamaan dan suka dukanya. Sampai jumpa di pendakian berikutnya.
Bersama 33 orang teman pendakian
The last but not least, Thanks to Akasakaoutdoor.co.id untuk support pendakiannya. Selalu keren produk-produknya menemani pendakian. Aku pakai Eagleborn Pants Astronaut Blue Akasaka  untuk pendakian ke puncak. Nyaman, keren dan tangguh luar biasa tentunya. 

Thanks celananya Akasaka :)
More photos check on my instagram account @wildahikmalia and do not hesitate to ask me about Sindoro J

You Might Also Like

0 Comments