Keliling Makassar Bersama Babang Gojek

September 24, 2016




Rumah Adat Kab. Bulukumba dalam Kawasan Benteng Somba Opu
05 July 2016
Hari kedua saya masih menikmati perjalanan yang membawa langkah kaki menuju Ranah Daeng. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi, dan saya sama sekali belum beranjak dari kasur. Selepas sholat shubuh saya merebahkan kembali badan di tempat tidur, mematikan AC, mengecilkan volume televisi dan membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi Makassar menyeruak ke kamar 207 di lantai dua ini.
Selasa ini rencana saya ingin berkunjung ke Bantimurung dan Leang-Leang, namun niat itu segera diurungkan tak kala terik matahari Makassar menyengat dari luar kamar. Ah ingin rasanya hari ini cukup bermalas-malasan saja di penginapan sampe bedug magrib, buka puasa dan takbiran. Membayangkan naik-turun pete-pete, berjam-jam dan mengitari Bantimurung dalam kondisi bulan puasa seperti ini membuat saya sedikit sangsi untuk melangkah. Tidak efisien sepertinya. Sembari chatingan dengan travelmate di Jakarta sana, saya masih mencari-cari ide untuk city tour hari ini. Teman-teman pada pulang kampung dan sibuk mempersiapkan lebaran esok hari. Rental motor? Ah, siapa yang mau bawa? Tapi tetiba saya ingat aplikasi ojek online. Aha,,, why not?
Taraaa...finally di jam 10 pagi itu saya meluncur meninggalkan Wisma Jampea, memulai city tour Makassar dengan babang Gojek yang setia menemani. Helloo langit Makassar..Selamat pagi..


Gerbang Persaudaraan (Gerbang masuk Wisma Jampea)

Tujuan utama saya adalah Pelabuhan Paotere dengan ongkos 15 ribu saja dengan jarak tempuh 4-5 km dari pecinaan Ahmad Yani. Kalau dihitung-hitung ngeteng dengan pete-pete, becak/bentor hampir sama ongkosnya, belum lagi lelah naik-turun dan sambung-menyambung pete-petenya. Ini tinggal duduk manis dibelakang driver, menikmati sepoi-sepoi angin motor saya sudah sampai di pelabuhan tertua di Kota Makassar ini.
Yang unik adalah tentunya percakapan yang terjadi disepanjang perjalanan. Aplikasi Gojek memang belum lama masuk ke Kota Makassar dan tentunya hampir sama dengan kota metropolitan lainnya, pro dan kontra pasti banyak terjadi. Penerimaan masyarakat pun beragam, karena itulah driver Gojek yang menjemput saya pagi ini adalah seorang anak muda, bercelana jeans selutut, kaos, jaket dan helm hitam. Tidak ada satupun atribut Gojek yang melekat didirinya. Saya pun dengan PD melenggang dari penginapan setelah diinfo oleh security kalau jemputan saya sudah datang.
Menjadi solo traveler terkadang juga menimbulkan ketakutan tersendiri bagi saya. Takut tersesat, takut kenapa-napa dan sering hal-hal negatif datang menghantui. Tapi segera semua saya usir jauh-jauh dari pikiran. Selagi niat baik, Insya Allah semesta pun akan mendukung dalam segala hal kebaikannya.



Pelabuhan Paotere – Sunda Kelapa Makassar













Kapal kecil penumpang dan polemik sampah diperairannya

Tidak berlama-lama di Paotere, setelah mengambil beberapa jepretan dan berinteraksi dengan penduduk lokal yang akan menyebrang saya segera beralih ke spot berikutnya. Tujuan selanjutnya adalah Sungguminasa, menuju Istana Tamalate dan Museum Balla Lompoa. Lagi-lagi pilihan saya adalah Gojek. Dan masih dengan alasan yang sama.
Driver yang kedua ini memakai atribut lengkap, jacket (meski dibalik) dan helm hijau andalan Gojek. Saya menunggu lumayan lama, tadinya sudah agak was-was karena dari GPS aplikasi lokasi sang driver lumayan jauh dari titik penjemputan. Seperti biasa obrolan pun dibuka. Dan ujung-ujungnya dia menawarkan diri untuk menunggu. “Saya ngambil poto bisa 1 sampai 2 Jam lo Mas, kasihan nunggunya lama.” Saya masih memakai panggilan Mas, karena bingung menggunakan panggilan apa untuk lelaki Makassar. Daeng? Ketinggian. Kakak? Hallah itu buat perempuan cocoknya. Bang? Hhhm terkesan tidak enak di dengar. “Ga pa pa Kak, daripada saya kosong baliknya.”
Taraaaa...akhirnya jadilah si babang ini yang setia menemani saya hampir 7 jam berkelana di hari kedua di Sulawesi. Dia bak guide dadakan, sepanjang perjalanan motor dia juga tidak henti-hentinya mengenalkan daerahnya. “Ini dulu gedung kampus ... sekarang pindah.” “Ini ... dan bla-bla-bla. Sampai ditempat tujuan pun dia mendampingi saya sambil bercerita dan bersabar menunggu.

Istana Tamalate

Museum Balla Lompoa

“Tahu Benteng Somba Opu?” Saya bertanya padanya ketika hendak meninggalkan Tamalate.
 “Tahu Kak, tapi saya tidak ingat persis jalannya. Mau ke sana? Nanti kita tanya-tanya saja dan lihat GPS.”
Bisa ditebak, kami pun menuju lokasi ke dua dengan mengandalakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat). Bertanya sana-sini dan berhenti sesuka saya ketika menemukan view ciamik untuk dijepret. Selepas dari Benteng Somba Opu pun dia masih dengan ikhlas mengantarkan saya ke pull Bus Litha di Jl. Urip Sumoharjo untuk membeli tiket keberangkatan Toraja esok hari.
Dan ... saya masih belum tahu harus membayar berapa untuk semua ini. Tidak ada deal-dealan di awal. Tapi karena keramahannya yang luar biasa dan saya bukanlah tipe orang yang tutup mata akan hal itu. Paotere-Sungguminasa-Benteng Somba Opu-Urip-Jampea adalah rute saya bersama babang gojek di hari kedua eksplorasi saya di Kota Makassar.
Kesimpulannya adalah jangan pernah ragu ketika melangkah. Luruskan niat, bulatkan tekat, dan melangkahlah dengan keyakinan. Traveling is not only about money but also about special things that only can be learnt in the way. Keep Traveling, keep going. Mari berkunjung ke Makassar, Makassar tida kasar, ada babang Gojek yang selalu siap menangkis kegusaran.


Memasuki kawasan benteng



Bertahan Selfie di bawah terik Matahari yang luar biasa


Museum Balla Lompoa dan Istana Tamalate recomended lah untuk dikunjungi. Dua spot ini bersebelahan satu sama lain. Di Balla Lompoa banyak ilmu yang bisa di gali. Bergaya rumah panggung ala bugis, bangunan ini dulunya adalah istana Kerajaan Gowa. Tidak hanya itu benda-benda bersejarah pun juga masih banyak tersimpan di museum ini. Sedangkan disebelahnya berdiri gagah Istana Tamalate.


Barang-barang bersejarah





Benteng Somba Opu : MIRIS adalah kata pertama yang tampak bagi saya ketika berkunjung ke kawasan ini. Sebuah objek yang tampak tidak terawat. Sangat disayangkan padahal lokasi ini sangat kaya dengan suguhan berbagai macam rumah adat dari berbagai suku dan daerah di Sulawesi Selatan. Meski benteng ini dulunya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah tapi melihat kondisi yang kurat terawat saat ini saya hanya bisa urut dada dan geleng-geleng kepala. Entahlah. Sejarah seolah tertutup oleh ketidak pedulian.


 HTM (Harga Tiket Masuk) :
Pelabuhan Paotere : tidak ada biaya retribusi apapun
Museum dan Istana : seikhlasnya
Benteng Somba Opu : O rupiah.


So ...... kapan mau berkunjung ke Makassar?




                                                                          Ini dia si Babang Gojek


















You Might Also Like

0 Comments