Talaga Bodas Garut

Oktober 25, 2017

Ini adalah kunjungan saya yang kesekian kalinya ke Garut. Hal yang pertama melekat di saya ketika menyebut Garut adalah Gunung Papandayan. Ya, sama halnya dengan para pendaki pemula diluaran sana, gunung wajib yang pertama kali didaki adalah Papandayan. Treknya gampang, tidak terlalu tinggi dan tentu bisa menjadi ajang uji nyali pertama untuk bergelut di atas ketinggian (puncak gunung).
Selain Papandayan, tentu saja makanannya. Dodol Garut. Lucunya saya mengenal dodol garut ini ketika dulu belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sebagai anak minang tulen, ketika masih bocah, sangat familiar sekali meminta oleh-oleh dodol ketika ada yang berangkat ke Jakarta. Ya, mohon maaf sekali Garut, di jaman saya-jaman masih bocah ingusan- Dodol Garut terkenalnya sebagai oleh-oleh khas Jakarta. Tidak afdol rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh dodol ketika dari Jakarta. Dodol Picnic dengan bungkusan berwarna merah muda (pink). Bahkan, sampai sekarang jikalau ada keluarga yang datang menengok ke Jakarta, tidak lupa saya selipkan oleh-oleh Dodol Garut di dalamnya.
Selain Dodol Garut, belakangan ini saya malah dikenalkan dengan jajanan baru khas Garut. Efek berteman dengan anak Garut yang dua minggu sekali selalu mudik ke Garut, yang selalu kangen kampung halamannya dan balik-balik membawa bekal oleh-oleh. Tahu kalau saya adalah seorang kerupuk lover dia membekali oleh-oleh yang bernama Dorokdok. Awalnya saya berkilah, “Ya ini mah di kampung gue juga ada. Namanya Karupuak Jangek.” Ternyata setelah dicoba ada cita rasa tersendiri pada Dorokdok. Meski sesama kerupuk kulit namun ketajaman rasa dan gurihnya memang beda. Kerupuk kulit karupuak jangek khas minang menurut saya lebih tebal dari segi komposisi dan tentu saja rasa yang melekat sedangkan dorokdok lebih halus, lembut dan tipis bumbu. Intinya mah ya sesama kerupuk, yang penting bisa menjadi teman makan nasi dalam kriyuk-kriyuk ketika digigit.
Oke, cukup tiga kilas intro di atas sebagai pembuka cerita Garut kali ini.

---
Beberapa minggu setelah mudik lebaran 2017 saya mendapat tawaran untuk nge-trip ke Garut (lagi). Sebagai ‘wanita murahan’ yang selalu tergoda ajakan jalan-jalan, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan. Padahal badan baru saja habis rontok ketika dua minggu di kampung. Tapi kalau sudah yang namanya jalan-jalan, mau badan rontok, kantong kering, yang penting mah jalan. Itu urusan kesekian yang nanti bisa dikondisikan.
Ajakan teman tersebut sebenarnya hanya ke satu destinasi yaitu Puncak Guha. Berhubung berangkatnya harus minggu pagi jam 4, maka dari itu mau tidak mau dari Jakarta harus ke Garutnya satu hari sebelumnya.
---
Sabtu, 29 Juli 2017
Welcome back Kampung Rambutan.
Sudah lama rasanya saya tidak bersinggungan dengan semi terminal yang satu ini. Entahlah, apa status traveling sudah naik kasta atau memang sekarang inginnya jalan-jalannya yang jauh naik pesawat atau minimal naik kereta. Rindu juga ternyata dengan masa-masa itu. Masa-masa di mana tidur ngemper di terminal, stasiun, pelabuhan dan kawan-kawannya. Oke, someday I’ll back again to the that moments.
Bus Primajasa yang membawa ke Garut berangkat sekitar jam 7 pagi. Alhamdulillah perjalanan lancar dan sampai di terimal Garut jam 12 siang. Tadinya mau bersilaturahmi terlebih dahulu ke teman yang mengenalkan saya pada Dorokdok. Tapi sayang dia ada urusan mendadak ke Bandung. Tidak kehilangan akal, akhirnya destinasi tambahan diputuskan sebelum besok berangkat ke Puncak Guha di Garut Selatan.

Talaga Bodas
Bu Novi, teman yang meracuni saya, mengajak untuk putar arah terlebih dahulu ke Talaga Bodas yang terletak di Desa Sukamenak, Wanaraja, Garut. Lagi-lagi sebagai ‘wanita murahan’ jalan-jalan saya rela diajak ke mana saja.
Oke mbah google, “Talaga Bodas”.
Sembari menikmati bakso dan es campur tomat di terminal, saya pun memanfaatkan waktu untuk browsing terlebih dahulu apa keunggulan Talaga Bodas. Bu Novi pun tanya-tanya ibu penjual bakso dan es campur akses menuju ke sana dalam bahasa sunda. Overall sih, Talaga Bodas hampir-hampir sama dengan Kawah Putih Ciwidey. Sama-sama berwarna toska, sama-sama berkabut dan tentunya sama-sama kawah dan juga sama-sama masih berada di provinsi yang sama, Jawa Barat.
Singkat cerita dari terminal perjalanan dilanjutkan dengan menaiki sebuah angkot. Tinggal menyebut clue saja, mau ke Talaga Bodas, dan pak sopir akan menurunkan tepat di sebuah pertigaan.
Dalam perjalanan sebelum sampai pertigaan sempat sesekali ngobrol-ngobrol dengan seorang penumpang bapak-bapak. “Berani amat, ujan-ujan gini ke sana. Saya aja ga berani. Jalanannya parah loh.” Entah itu ejekan atau nasihat, setelah beliau turun kalimat itu juga ikut berlalu. Gaya bapaknya tidak meyakinkan. Bismillah saja, lanjut terus.
Dari pertigaan tersebut ada pangkalan ojek diseberang. Tinggal nyebrang jalan dan sila negosiasi ojek diluncurkan. Triknya, negosiasi lebih ampuh menggunakan bahasa sunda jadi tidak ketara wisatawan jauh dari luar kota. Urusan seperti ini, Teh Novi pakarnya. Make sure untuk diantar sampai ke gerbang pintu masuk Talaga Bodas dan ditunggu sampai eksplorasi berakhir di atas sana. 

Sebatang pohon daunnya rimbun
Cusss… Dua kendaranan roda dua pun meluncur membelah perkampungan mengantar dua penumpang yang penasaran akan Talaga Bodas.
Bagaimana treknya?
Luar biasa. Panta* harus bisa mengkondisikan jarak tempuh yang lebih dari 15KM dengan kontur jalanan lika-liku dan tanjakan. Awalnya biasa-biasa saja apalagi aspal jalanan sudah sangat cukup bagus di sini. Tapi harus tetap hati-hati, jaga hati dan jaga diri. Terutama kalau berada di belakang mobil plat B yang juga sedang berusaha naik. Belum tentu mereka kenal trek di sini seperti apa. Jangan sampai kisah seperti saya terjadi. Melihat gerak-gerik mobil tersebut yang ndut-ndut-an saat tikungan dan tanjakan saya sudah curiga, jangan-jangan sang driver terlalu memaksakan diri dengan medan seperti ini. Ya benar saja, ditikungan tanjakan berikutnya mobilnya berhenti mendadak dan saya persis di belakang mereka. Untung si bapak ojek yang saya tumpangi sudah lihai dengan kasus seperti ini. Sreeet…sreeet… si bapak langsung putar stang ke kanan dan menyalip mobilio putih itu. Untung saja tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Tuhan masih sayang sama gadis single satu ini.
 Tidak itu saja, setelah pertigaan Patrol-pertigaan terakhir sebelum mencapai gerbang Talaga Bodas, kembali dilema harus dihadapi. Jalanan berkabut dan aspal sudah tidak mendominasi lagi. Sesekali rintik-rintik hujan juga ikut menyirami hati ini. Jarak pandang terbatas dalam kabut yang tak terbendung. Kali ini tikungan dalam jalanan licin tanpa aspal diantara kabut hutan belantara. Kadang becek, kadang berbatu, kadang menerka-nerka dalam genangan air. Ini baru naiknya lo, tak hitung juga sesekali roda motor tergelincir dan kaki sudah siap menahan diri. Duuh gusti, please selamatkanlah kami. Saya jadi teringat omongan si bapak di angkot tadi. Oh, ini toh mungkin yang di maksud.
“Bagaimana? Lanjut?”
“Lanjut pak, pantang mundur pokona mah.” Pura-pura semangat masih membara padahal hati sudah deg-degan, “tapi tetap pelan-pelan saja ya pak, licin soalnya.”
Dengan kondisi seperti itu mulut tak hentinya komat-kamit memanjatkan do’a. Nah, salah satu serunya traveling dalam keadaan seperti ini, hati tak pernah lupa sama Tuhan, do’a selalu tak lepas-lepas di haturkan. So, bisa ditarik kesimpulan, kalau traveling makin mendekatkan kita sama Sang Pencipta.
Alhamdulillah, perjalanan panjang tersebut dibayar tunai dengan keselamatan sampai gerbang Talaga Bodas. Tapi sayang kabut tak kunjung berlalu. Rintik hujan juga terus berguyuran.
Memang cuaca di Talaga Bodas tidak dapat diprediksi meski katanya berkunjung di musim kemarau pun, kalau tidak berjodoh bakal mendapatkan hal yang sama, kabut. Tuh kan, memang di mana-mana mencari jodoh itu susah.
Seperti slogan di awal, pantang mundur, sembari menunggu kabut berkurang dan rintik hujan reda saya dan bu Novi menghangatkan tubuh terlebih dahulu di sebuah warung sambil mencicipi jahe hangat dan gehu, toge tahu. Jajalan ala Garut. Nah kan, tambah satu lagi ilmu jajajan garut saya setelah dodol, dorokdok dan sekarang gehu. 

Kabut tak kunjung pergi
Selangkah lagi menuju Talaga Bodas. Dari gerbang bisa dilanjutkan dengan dua pilihan, jalan kaki atau naik ojek (lagi). Ojek khusus yang tersedia dari gerbang Talaga. Biayanya cukup 20rb saja PP gerbang-kawasan inti-gerbang.
Lalu apa saja yang bisa dinikmati di Kawasan Talaga Bodas ini?
Tentu saja pemandangan indah telaganya yang berwarna toska. Selain itu ada juga tempat pemandian air panas. Jika membawa baju salin dan memungkinkan, bisalah terlebih dahulu berendam sesaat di kawasan ini. Atau bagi yang mau nge-camp juga tersedia camp ground nya.
“Itu dia kawasan nge-camp nya,” unjuk abang ojek yang saya tumpangi. Kawasan yang dia tunjuk tak tampak jelas. Hanya kabut sejauh mata memandang.
Sedikit kecewa sebenarnya, pemandangan asli tak dapat saya nikmati di sini. Semuanya berkabut. Kecuali hati sih yang masih terang benderang. Tapi setidaknya saya sudah sampai di titik ini, menginjakkan kaki di Talaga Bodas. Bersabarlah, sesekali kabut akan berlalu dan toska air kawah tampak malu-malu akan muncul. Jangan lupa, langsung jepret ketika mendapat moment ini. Jangan tunggu-tunggu, karena hitungan detik saja kabut bisa kembali menutupi kawasan Talaga.
Oke enough. Setidaknya rasa penasaran saya akan telaga ini sudah terkuak. Perjalanan masih panjang ke bawah sana. Berkecimpung lagi dalam turunan tanpa henti bersama bapak ojek yang setia menanti.

Sila cek video medan Talaga Bodas di sini :


Lanjut Puncak Guha yuuk...




You Might Also Like

0 Comments