‘Blusukan’ Penutup di Ranah Dewa-Dewi (Dieng)

September 22, 2014

Kisah perjalanan Long Trip Lebaran 2014 (24 Juli–5 Agustus 2014): Jakarta-Purwokerto-Wonosobo-Dieng-Jogja-Probolinggo-Bromo-Rakum-Malang-Bandung-Jakarta   

 
Pesona Telaga Warna – Dieng
Story sebelumnya disini

Telaga Warna

Matahari sudah mulai tampak sedikit menukik turun dan bersiap diri untuk kembali keperaduannya . Dinginnya Dataran Tinggi Dieng perlahan mulai menusuk sanubari dan merongrong ke dalam kebekuan tulang-tulang. Kebulan dan gumpalan-gumpalan asap / kabut pun semakin banyak tampak mengebul dari mulut ketika kata demi kata terus saya ucapkan. Tapi, walaupun begitu untuk hari ini saya belum puas . Masih ada beberapa jam lagi sampai sang surya benar-benar tenggelam dan kebekuan Dieng mendekat dan menyapa.

Destinasi berikutnya adalah sebuah telaga yang memiliki keunikan fenomena alam, yang mana warna air dari telaga ini sering berubah-ubah berwarna-warni seperti pelangi.

Ya … dialah si Telaga Warna

Telaga yang  mengandung unsur sulfur yang cukup tinggi ini memiliki udara yang bersih dan sejuk yang membuat suasana Telaga Warna Dieng sangat memikat perhatian para pelancong. Harmonisasi alamnya bersatu padu dalam jiwa bagi setiap pengunjung yang menikmati keindahannya. 

Moment terindah diabadikan dalam pesona sunset cantik
Keunikan fenomena alam, warna air Telaga Warna
Mengitari telaga ini adalah suatu kepuasaan tersendiri bagi para wisatawan. Tapi ada satu hal menarik lainnya lagi yang dapat dipelajari di kawasan telaga ini. Mas Ipin mengajak saya untuk juga dapat merasakan sedikit nuansa ‘mistis’ sore itu. Dalam hening kabut putih dan pepohonan yang rindang kami menuju ke beberapa gua yang terdapat disekitar telaga.

Menelusuri jalan setapak yang hijau dan ditemani nyiur-nyiur pepohonan dan suara merdu burung-burung kecil membawa kami ke kawasan gua untuk dapat mengenal lebih dekat sejarah-sejarah terdahulu dari masing-masing tempat disini.  Seperti Gua pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati yaitu Gua Semar yang di depannya terdapat sebuah arca wanita dengan membawa kendi. Sebelumnya kita akan disambut terlebih dahulu oleh sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Batu Tulis (Batu Tulis Eyang Purbo Waseso). Dan disinipun kita dapat mempelajari / membaca sejarah dari masing-masing penamaan lokasi-lokasi disini. Tidak hanya 2 spot tersebut tapi masih banyak lainnya gua-gua yang terdapat disini seperti Gua Jaran (Gua Jaran Resi Kendaliseto) dan Gua Sumur Eyang Kumalasari. Gua – gua ini masih sering dijadikan sebagai tempat meditasi, bahkan di depan Gua Jaran saya dapat melihat sisa-sisa sesembahan yang masih baru , yang ditinggalkan oleh para pendo’a. Melihat begitu banyaknya daya tarik Telaga Warna, patutlah dia memberikan harga tiket masuk berbeda dari objek lainnya di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. HTM 8.000 rupiah + Rp 3.000 parkir belum apa-apa dibanding dengan kekayaan sejarah dan pesona yang ditawarkan.

Pepohonan rindang menuju beberapa gua disekitar telaga
Gua pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati - Gua Semar
Salah satu sisi dalam goa
Sebenarnya waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Telaga Warna adalah pada saat pagi atau siang hari. Karena pada sore hari kabut akan sedikit tebal dan menutupi daerah sekitar telaga. Tetapi dibalik itu semua, saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk berkungjung ke sini di sore hari karena pada saat itulah moment terindah di hari pertama saya di Dieng diabadikan dalam pesona sunset cantik, yang saya jumpai di salah satu sudut Telaga Warna. Tidak di pungkiri lagi, disaat-saat inilah saya kembali menenangkan diri dan rehat untuk beberapa saat sembari menikmati kemilau jingga sang petang dan berucap syukur pada Sang Penguasa Alam.

Rehat sejenak sembari menikmati kemilau jingga sang petang
 Telaga Pengilon

Walupun berada satu lokasi dengan Telaga Warna, tetapi Pengilon mempunyai ciri khas tersendiri untuk memanjakan penikmatnya. Diakses dengan jalan setapak di tengah rawa kecil dari Telaga Warna dan ditemani barisan pohon akasia membuat sore saya kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Meskipun Pengilon memiliki ukuran yang lebih kecil dan  bertetanggaan langsung dengan si Warna yang memiliki kadar belerang yang tinggi dan hanya dipisahkan oleh rerumputan, tetapi air telaga ini sangat jauh berbeda dari warna telaga tetangganya. Air Telaga Pengilon tidak mengandung belerang sama sekali, karena itu jadilah dia berwarna bening dan jernih. Konon karena kejernihannya tersebut berbentuk cermin yang dalam bahasa setempat disebut “Pengilon” . 

Rawa kecil menuju Pengilon
Telaga Pengilon - Dataran Tingi Dieng
Puas berpetualang seharian , tibalah saatnya menjelang malam saya segera rehat dan memanjakan lidah. Dibalut dinginnya yang makin tak tertahankan saya segera menelusuri jalanan sepanjang jalan utama untuk melampiaskan hasrat lidah demi mengenyangkan sang perut. Untuk pecinta kuliner, atau yang ingin memburu / mencicipi makanan khas Dieng seperti mie ongklok jangan khawatir. Sama halnya seperti penginapan yang menjamur di kawasan Dieng, pun juga demikian dengan  warung-warung yang menjajakan makanan di kawasan Dieng. Ini adalah hal mudah yang dapat ditemui oleh para wisatawan. Mulai dari makanan kecil yang kelas biasa sampai dengan menu yang sedikit merogoh kocek sudah banyak ditawarkan oleh warung/restoran disekitaran kawasan wisata Dieng terutama di area jalan raya utama. So, don’t worry bout your belly J

Puncak Sikunir

Digital analog handphone menunjukkan pukul 3 pagi dan berdentang bersahut-sahutan menyuruhku segera bangkit dan menuju kamar mandi. Dua lapis selimutpun tidak dapat kutarik lagi. Tubuh sangat terasa kaku. Gigi-giku ku saling berebutan bersembunyi dibelakang geraham. Aku serasa tidak dapat berbuat apa-apa. Dinginnya sangaaaaat menusuk dan menembus ke sum-sum tulangku paling dalam. Aku dapat merasakan tusukan suhunya mungkin sudah mencapai 0°C. Kenapa tidak? Karena pada musim kemarau seperti ini (Juli-Agustus) adalah puncak dari dinginnya Dieng. Dan aku terjebak dalam kedinginan itu ……………..  
Masih belum bisa menggerakkan badan dan masih berpikir ulang tentang pagi ini, tapi tidak menunggu beberapa lama HP ku berdering . Pelan-pelan kujamah dan kulirik dengan saksama .

“ siap-siap Sikunir ya mb” sms Mas Ipin

Akkkh ....... aku berusaha sekuat tenaga untuk melawan kedinginan ini , segera bangkit dari ranjang dan melakukan aksi-aksi kecil untuk mengusir dingin yang sangat menusuk tubuh ini. Ini adalah ide gila yang aku lakukan demi mendapatkan Golden Sunrise Sikunir. Yaa .... Untuk sesuatu yang woow,,, sedikit pengorbanan itu sangat diperlukan. Ku semangati diri ini dengan semangat 45, jauh-jauh menapaki kaki ke sini semuanya harus aku tuntaskan !!!

Landscape jalur Sikunir
Mencapai Puncak Sikunir diperlukan tenaga ekstra dan kehati - hatian 
Tepat jam 4.00 am, si roda dua pun siap mengantarkanku menuju puncak dengan ketinggian 2.263 Mdpl – Gunung Sikunir. Kecepatannya makin membelah dingin pagi ini. Sarung tangan dan kaos kaki yang kupakai lumayan sedikit mempan melawan hawa dinginnya Dieng. Ini adalah sunrise pertamaku selama long trip kali ini . Segala upaya dan usaha aku lakukan demi dapat menyaksikannya .

Kendala yang pertama kami hadapi adalah kemacetan menuju titik pemberhentian terakhir kendaraan bermotor. Akhirnya si motor matic ku tinggalkan di desa Sembungan yaitu desa tertinggi di Pulau Jawa. Untuk menuju ke Puncak Sikunir semua hiker pasti akan melewati desa nan rancak ini. Jangan bayangkan Sembungan Village seperti desa yang terbelakang. Tapi masyarakat disini masih sama kehidupan dan modern yang mereka pegang seperti dengan masyarakat desa lainnya di Indonesia . Hanya saja yang membedakan mereka adalah dinginnya yang menyayat tulang. 

Telaga Cebong di kaki Sikunir
“Ini memang lagi puncak dingin-dinginnya mb”  ucap Mas Ipin setelah mendengar keluhanku dipagi buta ini. Bagi dia dan masyarakat Dieng lainnya ini adalah hal biasa yang rutin setiap tahun mereka hadapi.

“Yaa … kalo ga kuat dingin paling kita ke Wonosobo” lanjut dia menerangkan atas rasa penasaranku dalam hal mensiasati dinginnya Dieng.

Tidak salah lagi, aku pernah menemukan sebuah artikel yang mengatakan kekecewaannya pada salah seorang peserta trip yang memakai jasa EO. Karena salah satu anggota ‘melambaikan tangan ke kamera’ karena tidak tangan dingin. Akhirnya mereka segera dibawa ke Jogjakarta dan mau tidak mau peserta lainnya terlantar karena itinerary trip jadi berantakan. So,,, remember !!! persiapkan stamina dan diri sebaik mungkin jika ingin berkunjung Juli – Agustus .


Puncak Gunung Sindoro melambai ke Sikunir
Sama dengan ketentuan-ketentuan objek wisata sebelumnya di Dieng. Pengunjung diwajibkan terlebih dahulu membayar tiket masuk seharga Rp 5.000,- menjelang memasuki Sembungan Village.

Tips menuju Puncak Sikunir :
  • -          Berangkatlah sepagi mungkin dari penginapan
  • -          Atau bisa nge-camp di sekitaran Telaga Cebong / di Sikunir
  • -          Gunakan sepatu / sandal trekking yang nyaman
  • -          Bawa headlamp / senter untuk memudahkan penerangan pendakian
  • -          Jacket tebal, sarung tangan, dan kaos kaki
  • -          Minuman yang cukup
  • -          Tenaga dan stamina yang kuat

Mencapai Puncak Sikunir diperlukan tenaga yang ekstra dan kehati-hatian yang tinggi. Mengingat hutan dan jalur pendakian tergolong sedikit extrim dengan tebing sebelah kanan dan jurang sebelah kiri, ditambah lagi cuaca yang masih gelap. Tapi itu semua terbayar dengan pemandangan lampu malam hari desa/kota-kota di bawahnya yang sesekali menyelinap dirimbunnya pohon belantara. 

Track pendakian Sikunir

Sesampai di puncak aku segera mencari posisi terbaik untuk menanti datangnya sang matahari pagi. Berharap Golden Sunrise Sikunir yang terkenal itu menyapaku di pagi ini.

5 menit berlalu …………………
10 menit ……………….
20 menit …………………..
30 menit ……………………….
45 menit ………………………

Tanda-tanda kemilau sang surya masih juga belum tampak . Tapi dingin dan hembusan angin kencang makin membuatku merapatkan jacket dan mengepit kedua badan semakin erat. Para sunrise lovers pun tampak berharap – harap cemas seperti ku. Bak menunggu peruntungan kami semua dengan tenang menantinya. Tapi apalah daya ,,, cuaca tidak bersahabat sehingga sang mentari tak kunjung jua datang .

Kecewa ????

Ya ……………… bisa dibilang sedikit .

Tapi kemudian nafas lega aku hembuskan, setidaknya aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai titik ini. Kali ini “I was not lucky” . Walaupun demikian, aku tetap berusaha menikmati keindahan di Puncak Sikunir sembari menunggu datangnya siang . Bercengkrama sembari menyeduh kopi sambil menghangatkan badan di api unggun. Semakin siang, Puncak Sikunir makin lengang. Disaat itulah lah aku dapat menikmati keindahan sekitar dan menyaksikan hamparan hijaunya Puncak Sikunir .

Sunrise lewat ………… yang penting panorama pagi dapat kusapa kali ini dari Sikunir.

Hamparan hijaunya Puncak Sikunir
Sindoro .......... Kelak aku akan berada di puncakmu
Bukit Ratapan

Sekitar pukul 07.30 aku segera memutuskan turun dari Sikunir. Sebelum kembali bergegas dan berkemas ke penginapan ada satu spot terakhir yang akan aku kunjungi. Yaitu sebuah bukit batu besar untuk melihat keindahan Telaga Warna dan Pengilon dari ketinggian. Sebelum sampai ke bukit batu, pengunjung akan di sambut dengan spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Bukit Batu Pandang Ratapan Dieng” dan membayar tiket masuk seharga Rp 10.000,-

Ayeee …… beruntunglah aku pagi ini. Ternyata Bukit Ratapan masih sepi pengunjung. Bebas berekspresi dan kembali merenung diri di bukit-bukit batu yang tampak mencolok tinggi menjangkau langit diangkasa.

This was my last trip at Dieng . Rasa syukur kembali bersemayam dalam diriku, sejauh ini semua berjalan lancar dan sesuai dengan rencana perjalanan yang sudah aku susun sedemikian rupa. Kembali bersemangat dipagi ini, menantang dinginnya Dieng dan bersiap melangkah ke ranah berikutnya. 

Berlanjut disini 

Hamparan asri nan hijau Dieng dari Bukit Ratapan
Bukit Batu Pandang, ciamik dengan background Telaga Warna dan Pengilon
Bukit - bukit batu yang tampak mencolok tinggi


You Might Also Like

0 Comments